Jumat, 15 Juli 2016

Tagged Under:

Model Pengembangan Kurikulum - CURRICULUM DEVELOPMENT REPRESENTATIVE MODELS

By: Unknown On: 19.35
  • Share The Gag


  • Model Pengembangan Kurikulum - CURRICULUM DEVELOPMENT REPRESENTATIVE MODELS

    Allan C. Ornstein & Francis P. Hunkins, 1988, p. 191:
    “Curriculum development draws on the principles (usually technical or scientific) and consist of those processes (humanistic, humane, and artistic) that allow schools and school people to realize certain educational goals.”
    Dengan kata lain, pengembangan kurikulum menekankan pada prinsip dan proses yang membuat pihak sekolah dan semua pihak yang terlibat untuk  tetap berjalan sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Idealnya semua orang yang dipengaruhi oleh kurikulum harus terlibat dalam proses pengembangan kurikulum.
    Terdapat tiga proses utama dalam kegiatan penyempurnaan suatu kurikulum (curriculum engineering), yaitu:
    1.     Curriculum construction(penyusunan kurikulum)
    Merupakan pembuatan keputusan yang mempertimbangkan sifat dan rancangan kurikulum.
    Penyusunan kurikulum menekankan pada:
    a.     Valuing (nilai)
    b.     Foundation
    c.     Aspek teoritis kurikulum, terutama komponen dari kurikulum.
    2.     Curriculum development ( pengembangan kurikulum)
    Merupakan prosedur dalam menjalankan kurikulum yang sudah disusun
    3.     Curriculum implementation (penerapan kurikulum)
    Merupakan proses dalam melaksanakan kurikulum yang sudah disusun dan dikembangkan.
    Pendekatan dalam pengembangan kurikulum, terdiri atas:
    1.     Technical-Scientific approaches, terdiri atas:
    a.     Behavioral-rational
    b.     System managerial
    c.     Intelectual-academic
    Model-model pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan technical-scientific antara lain adalah:
      Tyler Model: Four Basic Principles
      Taba Model: Grass-Roots Rationale
      Saylor and Alexander Model: Planning Process
      Goodlad Model: Learning Opportunity, Organizing Center
      Hunkins’s Developmental Model
      Miller and Seller: Curriculum Orientation

    2.     Nontechnical-non scientific approaches, terdiri atas:
    a.     Humanistic-aesthetic
    b.     Reconceptualist
    Model-model pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatanNontechnical-non scientific, antara lain:
      Open-Classroom Model
      Weinstein and Fantini Model: A curriculum of Affect
      Rogers’s Model: Interpersonal Relations.
    Pengembangan model kurikulum perlu didasarkan pada tujuan, bahan pelajaran, proses belajar mengajar, dan evaluasi yang tergambarkan dalam proses pengembangan tersebut.

    A.    MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM

    PARTICIPANTS IN DEVELOPING THE CURRICULUM

    Kalangan yang terlibat dalam pengembangan kurikulum yaitu:

    1)    Political – Arena Participants, yaituparawakil rakyat, partai politik.
    2)    School Arena Participants, yaitu pihak-pihak organisasi sekolah, antara lain:
    a.     Teachers
    b.     Students
    c.     Principals(Kepala Sekolah)
    d.     Curriculum Specialist
    e.     The Asisstant (Associates) Superintendent(Asisten Pengawas)
    f.      Superintendent(Pihak Pengawas Sekolah)
    g.     Boards of Education (Komite sekolah)
    h.     Lay Citizen(Masyarakat sekitar)
    3)    Participants outside the School District, yaitu pihak-pihak diluar sekolah
    a.     Federal Government(Pemerintah Pusat)
    b.     State Agencies (Departemen pemerintahan)
    c.     Regional Organizations(Organisasi setempat)
    4)    Other Participants

    COMPONENTS TO CONSIDER IN DEVELOPING A CURRICULUM
    1)    Curriculum content
    a.     Conceptions of Cotent
    b.     Organizations of Content
    c.     Criteria for Selecting Content
      Self Sufficiency
      Significance
      Validity
      Interest
      Learnability
      Feasibility

    2)    Curriculum Experinces
      Experiences versus activities
      Wholeness and continuity
      Means and ends

    MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
    Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikanya serta kemungkinan tercapainya hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut serta modelkonsep pendidikan mana yang digunakan.
    Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis dan rekontruksi sosial.
    Sekurang-kurangnya dikenal delapan model pengembangan kurikulum yaitu:
    1.      The administrative model,
    Merupakan model yang gagasanpengembangannyadatang daripara administrator danmenggunakanproseduradministrasi
    2.      The grass rootsmodel
    Merupakan model yang inisiatifpengembangannyadatangdaripengajaratausekolah.
    3.      Beauchamps system
    Merupakan model yang dikembangkanolehBeauchampdenganmempertimbangkan lima aspekyakni (1) arena (2) personalia (3) organisasidanprosedur (4) implementasidan (5) evaluasi.
    4.      Thedemonstrationmodel,
    Merupakan model grass rootsberskalakecil, yang dilakukansecara formal ataupunkurang formal.
    5.      Taba’s inverted model,
    Modelpengembangan yang bersfatinduktif.
    6.      Rogers’s interpersonal relations model
    Merupakan model pengembangankurikulumdilihatdanperkembangandanperubananinclividu
    7.      The systematic action-reasearch model,
    Model yang didasarkanpadaasumsibahwaperkembangankurikulummerupakanperubahansosial.
    8.      emerging technical models,
    Suatu model pengembangankurikulum yang dipengaruhiolehperkembanganipteksertanilaiefisiensidanefektivitasdalambisinis.

    1.     The Administrative Model.

    Model pengembangan kurikulumini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staf, karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, administrator pendidikan (apakah dirjen, direktur atau kepala kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan) membentuk suatu komisi atau tim pengarah pengembangan kurikulum.  Anggota-anggota komisi atau tim ini terdiri atas pejabat dibawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan.
    Tugas tim atau komisi pengembangan kurikulum adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum.  Setelah hal-hal mendasar ini dirumuskan dan dikaji secaar seksama, administrator pendidikan menyusun tim atau komisi kerja pengembangan kurikulum. Para anggota tim atau komisi ini terdiri atas para ahli pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru bidang studi yang senior.
    Tim kerja pengembangan kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional, yang dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yang telah digariskan oleh tim pengarah. Tugas tim kerja ini merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional dari tujuan-tujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun sekuens bahan pelajaran, memilih strategi pengajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum tersebut bagi paraguru.
    Setelah semua tugas dari tim kerja pengembangan kurikulum tersebut selesai, hasilnya dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwewenang atau pejabat yang kompeten. Setelah mendapat beberapa penyempurnaan, dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut serta memerintahkan sekolah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum tersebut.
     Karena sifatnya yang datang dari atas, model pengembangan kurikulumdemikian disebut juga model “top down” atau “line staff”. Pengembangan kurikulum dari atas, tidak selalu segera berjalan, sebab menuntut kesiapan dari pelaksanaanya, terutamaguru-guru. Mereka perlu mendapatkan petunujuk-petunjuk dan penjelasan atau mungkin juga peningkatan pengetahuan dan ketrampilan. Kebutuhan akan adanya penataran sering tidak dapat dihindarkan.
    Dalam pelaksanaan kurikulum tersebut, selama tahun-tahun permulaan diperlukan pula adanya kegiatan monitoring pengamatan dan pengawasan serta bimbingan dalam pelaksanaanya. Setelah berjalan beberapa saat perlu juga dilakukan evaluasi, untuk menilai baik validitas komponen-komponenya prosedur pelaksanaan maupun keberhasilanya. Penilaian menyeluruh dapat dilakukan oleh tim khusus dari tingkat pusat atau daerah. Sedang penilaian persekolah dapat dilakukan oleh tim khusussekolah yang bersangkutan. Hasil penilaian tersebut merupakan umpan balik, baik bagi instansi pendidikan di tingkat pusat, daerah maupun sekolah.

    2.    The Grass Roots Model
    Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi datang dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama,digunakan dalam sistim pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan Grass Roots Model akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan Grass Roots, seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum.
    Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi atau seluruh bidang studi dan keseluruhan komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum Grass Roots Model akan lebih baik. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling berkompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya. Hal itu sesuai dengan prinsip-prinsip pengembang kurikulum yang deikemukakan oleh smith, stanley dan shores (1957:429) dalam pengembangan kurikulum karangan Prof. DR. Nana Syaodih Sukmadinata.
    Pengembangan kurikulum yg bersifat Grass Roots Model mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.

    3.    Beauchamp’s System.

    Model pengembangan  kurikukum ini, dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli kurikulum Beauchamp. Ia mengemukakan lima hal di dalam pengembangan suatu kurikulum, yaitu:

    a.     menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut.
    Apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten atau seluruh negara. Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalanm pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan pengembangan kurikulum. Walaupun daerah yang menjadi wewenang kepala kanwil pendidikan dan kebudayaan mencakup suatu wilayah propinsi, tetapi arena pengembangan kurikulum hanya mencakup suatu daerah kabupaten saja sebagai pilot proyek.

    b.     menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat dalam pengembangan kurikulum.
    Ada empat kategori orang yang turut berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum yaitu:
    •         Para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar,
    •         Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih,
    •         Para profesional dalam sistem pendidikan.
    •         Profesioanal lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
    Beauchamp mencoba melibatkan para ahli dan tokoh-tokoh pendidikan seluas mungkin, yang biasanya pengaruh mereka kurang langsung terhadap pengembangan kurikulum, dibanding dengan tokoh lain seperti; para penulis dan penerbit buku, para pejabat pemerintah, politikus, dan pengusaha serta industriwan. Penetapan personalia ini sudah tentu disesuaikan dengan tingkat dan luas wilayah dan arena. Untuk tingkat propinsi atau nasional tidak terlalu banyak melibatkan guru-guru. Sebaliknya untuk tingkat kabupaten, kecamatan atau sekolah keterlibatan guru semakin besar.
    Mengenai keterlibatan kelompok-kelompok personalia ini, Beauchamp mengemukakan tiga pertanyaan:
    •         Haruskah kelompok ahli/pejabat/profesi tersebut dilibatkan dalam pengembangan kurikulum?
    •         Bila iya, apakah peranan mereka?
    •         Apakah mungkin ditemukan alat dan cara yang paling efektif untuk melaksanakan peran tersebut?
    c.     Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum.
    Langkah ini harus berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar serta kegiatan evaluasi dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum.
    Beauchamp membagi keseluruhan kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu :
    •         membentuk tim pengembang kurikulum;
    •         mengadakan evaluasi atau penelitian terhadap kurikulum yang berlaku;
    •         studi penjajagan kemungkinan penyusunan kurikulum baru;
    •         merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru; dan
    •         penyusunan dan penulisan kurikulum baru.
    •         Implementasi kurikulum merupakan langkah mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang sesungguhnya bukanlah hal sederhana, sebab membutuhkan kesiapan menyeluruh, baik guru, peserta didik, fasilitas, bahan maupun biaya, disamping kesiapan manajerial dan pimpinan sekolah atau administrator setempat.
    d.     Implementasi kurikulum.
    Langkah ini merupakan langkah mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, disamping kesiapan manajerial dari pimpinan sekolah atau administrator setempat.

    e.     Evaluasi kurikulum, pada langkah ini minimal mencakup empat hal yaitu:
    •         evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru;
    •         evaluasi desain;
    •         evaluasi hasil belajar peserta didik; dan
    •         evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum.

    Data yang diperoleh digunakan untuk kepentingan perbaikan dan penyempurnaan kurikulum.

    4.    The Demonstration Model

    Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass roots, yaitu dari bawah. Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum.  Model ini umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu kompenen kurikulum atau mencakup keseluruhna kompeonen kurikulum. Karena sikap ingin merubah atau mengganti kurikulum yang ada, pengembangan kurikulum sering mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu.
    Karena sifatnya yang ingin merubah, pengembangan kurikulum seringkali mendapat tantangan dari pihak tertentu.
    Terdapat dua variasi model demonstrasi, yaitu ;
    1.     berbentuk proyek dan
    2.     berbentuk informal, terutama diprakarsai oleh sekelompok guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada.
    Beberapa keunggulan dari pengembangan kurikulum model demonstrasi ini, yaitu:
    a.     Memungkinkan untuk menghasilkan suatu kurikulum atas aspek tertentu dari kurikulum yang lebih praktis, karena kurikulum disusun dan dilaksanakan berdasarkan situasi nyata;
    b.     Jika dilakukan dalam skala kecil, resistensi dari administratorkemungkinan relatif kecil, dibandingkan dengan perubahan yang berskala besar dan menyeluruh;
    c.     Dapat menembus hambatan yang sering dialami yaitu dokumen kurikulumnya bagus, tetapi pelaksanaannya tidak ada;
    d.     Menempatkan guru sebagai pengambil insiatif yang dapat menjadi pendorong bagi para administrator untuk mengembangkan program baru.
    Sedangkan kelemahan model ini adalah bagi guru-guru yang tidak turut berpartisipasi cenderung menjadi apatis.
    5.    Taba’s Inverted Model

    Secara tradisional, pengembangan kurikulum dilakukan secara deduksi, dengan urutan:
    a.     Penentuan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan dasar,
    b.     Merumuskan desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan atas komitmen-komitmen tertentu,
    c.     Menyusun unit-unit kerikulum sejalan dengan desain yang menyeluruh,
    d.     Melaksanakan kurikulum di dalam kelas.

    Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak merangsang timbulnya inovasi. Menurutnya, pengembangan kurikulum yang lebih mendorong inovasi dan kreativitas guru-guru adalah bersifat induktif, yang merupakan kebalikan model tradisional. Model pengembangan kurikulum Taba adalah model yang memodifikasi model dasar Tyler.





    Ada lima langkah pengembangan kurikulum model Taba, yaitu :
    a.     Menghasilkan unit-unit percobaan (pilot unit) dengan bekerjasama dengan para guru, melalui tahapan-tahapan berikut:
    Step 1: Diagnosis of needs - mendiagnosis kebutuhan
    Step 2: Formulation of objectives; merumuskan tujuan-tujuan khusus
    Step 3: Selection of content - memilih isi
    Step 4: Organization of content - mengorganisasi isi
    Step 5: Selection of learning experiences - memilih pengalaman belajar
    Step 6: Organization of learning experiences - mengorganisasikan pengalaman belajar
    Step 7: Determination of what to evaluate and of the ways and means of doing it -mengevaluasi; dan melihat sekuens dan keseimbangan

    Berdasarkan hal tersebut, kita dapat mengetahui bahwa langkah-langkah yang digunakan Taba dalam mengembangkan kurikulum adalah diagnosis kebutuhan, formulasi pokok-pokok, seleksi isi, organisasi isi, seleksi pengalaman belajar, organisasi pengalaman belajar, dan penentuan tentang apa yang harus dievaluasi dan cara untuk melakukannya.
    Diagnosis merupakan langkah pertama yang paling penting dalam menentukan kurikulum apa yang seharusnya diberikan kepada siswa. Karena latar belakang siswa sangat beragam, maka perlu untuk mendiagnosa perbedaan atau jurang pemisah, kekurangan dan variasi dalam latar belakang tersebut. Menurut Taba, mendiagnosis kebutuhan anak didik merupakan hal pertama yang sangat penting. Informasi ini berguna dalam menentukan langkah keduanya yaitu formulasi yang jelas dan tujuan-tujuan yang komprehensif untuk membentuk dasar pengembangan elemen-elemen berikutnya. Dan hakikat tujuan (objectives)akan menentukan jenis pelajaran yang perlu diikuti.
    Adapun beberapa area yang perlu diperhatikan dalam merumuskan tujuan menurut Taba adalah sebagai berikut.
    a.     Concepts or ideas to be learned (konsep atau ide yang akan dipelajari)
    b.     Attitude, sensitivities, and feelings to be developed (sikap, sensitivitas, dan perasaan yang akan dibangun)
    c.     Ways of thinking to be reinforced, strengthened, or initiated (pola pikir yang akan ditekankan, dikuatkan, atau dirumuskan)
    Habits and skills to be mastered (kebiasaan dan kemampuan yang akan dikuasai)
    b.     Menguji coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menemukan validitas dan kelayakan penggunaannya.
    c.     Mengadakan revisi dan konsolidasi unit-unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh dalam uji coba.
    d.     Mengembangkan seluruh kerangka kurikulum
    e.     Implementasi dan diseminasi kurikulum yang telah teruji. Pada tahap terakhir ini perlu dipersiapkan guru-guru melalui penataran-penataran, loka karya dan sebagainya serta mempersiapkan fasilitas dan alat sesuai tuntutan kurikulum.
    Selanjutnya Taba juga memberikan beberapa kriteria dalam memformulasikan tujuan dalam pendidikan yaitu:
    a.     A statement of objectives should describe both of the kind of behavior expected and the content or the context to which that behavior applies.
    Seharusnya pernyataan tujuan menggambarkan sikap yang diharapkan dan isi dari penerapan sikap. Menurut Zainal Arifin bahwa yang dimaksud dengan “the content or the context to which that behavior applies” adalah isi yang terdapat dalam setiap mata pelajaran.

    b.     Complex objectives need to be stated analytically and specifically enough so that there is no doubt as to the kind of behavior expected, or what the behavior applies to.
    Tujuan yang komplek perlu dianalisis dan dispesifikan sehingga tidak ada keraguan terhadap sikap yang diharapkan atau sikap yang diterapkan.

    c.     Objectives should also be so formulated that there are clear distinctions among learning experiences required to attain different behavior.
    Tujuan hendaknya memberikan petunjuk bahwa ada perbedaan yang jelas tentang pengalaman belajar yang dibutuhkan untuk mencapai sikap yang berbeda.

    d.     Objectives are developmental, representing roads to travel rather than terminal points.
    Tujuan adalah hal yang dikembangkan, yang merupakan langkah (perjalanan) yang lebih dari sekedar titik akhir.

    e.     Objectives should be realistic and should include only what can be translated into curriculum and classroom experiences
    Tujuan seharusnya realistis dan seharusnya termasuk hal yang dapat diterjemahkan ke dalam kurikulum dan pengalaman belajar.

    f.      The scope of objectives should be broad enough to encompass all types of outcomes for which to school is responsible.
    Jangkauan dari tujuan seharusnya menyeluruh yang meliputi semua tujuan yang akan dicapai sekolah.

    Sedangkan dalam langkah ketiga yaitu seleksi isi, Taba memberikan kriteria sebagai berikut:
    a.     Validity of significance of content (validitas dan signifikansi isi)
    b.     Consistency with social realities (konsisten dengan realitas sosial)
    c.     Balance of breadth and depth (keseimbangan antara keluasan dan kedalaman)
    d.     Provision for wide range of objectives (ketentuan untuk keluasan cakupan dari tujuan)
    e.     Learn ability and adaptability to experiences of students (pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan sesuai dengan pengalaman siswa)
    f.      Appropriateness to the needs and interests of the students (sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa).



    Langkah keempat dalam model Taba adalah organisasi isi, dimana terdapat tiga macam organisasi kurikulum yaitu, sparated subject curriculum (kurikulum dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah), correlated curriculum (sejumlah mata pelajaran dihubungkan antara satu dengan yang lainnya), dan broad field curriculum (mengkombinasikan beberapa mata pelajaran).

    Pada langkah kelima yaitu seleksi pengalaman belajar ini, terdapat kriteria yang perlu dicermati, yaitu:
    a.     Validitas, dapat diterapkan di sekolah
    b.     Kelayakan dalam hal waktu, kemampuan guru, fasilitas sekolah, dan pemenuhan terhadap harapan masyarakat.
    c.     Optimal dalam mengembangkan kemampuan peserta didik.
    d.     Memberikan peluang untuk pengembangan berpikir rasional
    e.     Memberikan peluang pengembangan kemampuan peserta didik sebagai individu dan anggota masyarakat
    f.      Terbuka terhadap hal baru dan toleransi terhadap perbedaan peserta didik.
    g.     Memotivasi belajar lebih lanjut.
    h.     Memenuhi kebutuhan peserta didik
    i.      Memperluas minat peserta didik
    j.      Mengembangkan kebutuhan pengembangan ranah kognitif, afektif, psikomotorik, sosial, emosi, dan spiritual peserta didik.

    Tahap organisasi pengalaman belajar selanjutnya harus memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik. Pada tahap yang terakhir yaitu evaluasi dan cara melakukan evaluasi Taba menganjurkan beberapa hal yaitu:
    a.     Criteria for a program of evaluation (menentukan kriteria program penilaian)
    b.     A comprehensive evaluation program (menyusun program penilaian yang menyeluruh)
    c.     Techniques for securing evidence (teknik mengumpulkan data)
    d.     Interpretation of evaluation data (menginterpretasikan data penilaian)
    e.     Translation of evaluation data into the curriculum (menerjemahkan data evaluasi ke dalam kurikulum)
    f.      Evaluation as a cooperative enterprise. (evaluasi sebagai usaha kerjasama)

    Model pengembangan kurikulum yang dikembangan Taba ini adalah model terbalik yang didapatkan atas dasar data induktif, karena biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep yang datangnya dari atas secara deduktif. Sedangkan model Taba ini dilaksanakan dengan terlebih dahulu mencari data dari lapangan dengan cara mengadakan percobaan, kemudian disusun teori atas dasar hasil nyata, kemudian diadakan pelaksanaan.
    Model pengembangan kurikulum Tyler dan Taba dikategorikan ke dalam Rational Model atau Objectives Model, karena keduanya berpendapat bahwa dalam pengembangan kurikulum bersifat rasional, sistematis dan berfokus pada tujuan. Model tersebut memiliki beberapa kelebihan dan juga kekurangan sebagai berikut:
    1) Kelebihan Rational Model yaitu:
    a.     Menghindari kebingungan dimana para pendidik dan para pengembang kurikulum memberikan suatu jalan yang tidak berbelit-belit dan mempunyai pendekatan waktu yang efisien sehingga bisa menemukan atau melakukan tugas kurikulum dengan baik.
    b.     Dengan menekankan pada peranan dan nilai tujuan-tujuan (objectives), model ini membuat para pengembang kurikulum bisa berpikir serius tentang tugas mereka.
    c.     Dengan tata urutan pengembangan kurikulum dari tujuan, formulasi isi, aktivitas belajar, sampai pada evaluasi sejauh mana tujuan-tujuan tersebut dicapai, merupakan daya tarik tersendiri dari model ini.

    2)    kelemahan Rational Model yaitu:

    a.        Latar belakang pengalaman dan kurangnya persiapan diri seorang pendidik untuk berpikir dan mengembangkan pemikirannya secara logis dan sistematis akan mengalami kesulitan dalam menggunakan model ini.
    b.        Kurang jelasnya hakikat belajar mengajar, karena seringkali pembelajaran justru terjadi di luar tujuan-tujuan tersebut.
    c.         Terlalu berlebihan menekankan pada formula hasil seperti mementingkan tujuan perilaku (behavior objectives).

    6.    Roger’s Interpersonal Relation Model

    Meskipun roger bukan seorang ahli pendidikan melainkan seorang ahli psikologi atau psikoterapi. Tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan pengembangan kurikulum. Memang ia banyak mengemukakan konsep tentang perkembangan dan perubahan individu.
    Menurut Rogers, manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing, changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya bukan pemberi informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan pemelancar perkembangan anak.
    Ada empat langkah pengembangan kurikulum model Rogers, yaitu:
    a)    Pemilihan target dari sistem pendidikan; di dalam penentuan target ini satu-satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan/administrator untuk turut serta dalam kegiatan kelompok secara intensif. Selama satu minggu pejabat pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana relaks, tidak formal.
    b)    Partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Keikutsertaan gurudalam kegiatan sebaiknya secara sukarela. Lama kegiatan satu minggu atau kurang. Menurut Rogers bahwa efek yang diterima sejalan dengan paraadministrator seperti telah dikemukakan di atas,
    c)     Pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh peserta didik ikut serta dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator guru atau administrator atau fasilitator dari luar.
    d)    Partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan ini dapat dikoordinasi oleh Komite Sekolah masing-masing sekolah. Lama kegiatan kelompok tiga jam tiap sore hari selama seminggu atau 24 jam secara terus menerus. Kegiatan ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya dengan sesama orang tua, dengan anak, dan dengan guru. Kegiatan ini merupakan kulminasi dari kegiatan kelompok di atas. Metode pendidikan yang dikembangkan Rogers adalah sensitivity trainning, encounter group, dan Trainning Group (T Group).
    Model pengembangan kurikulum dari Rogers ini berbeda dengan model-model lainnya. Sepertinya tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Itulah ciri khas Carl Rogers ssebagai sebagai Eksistensial Humanis., ia tidak mementingkan formalitas, rancangan tertulis, data, dan sebagainya. Bagi Rogers yang penting adalah aktivitas dan interaksi. Berkat berbagai bentuk aktivitas dalam interaksi ini individu akan berubah. Metode pendidikan yang diutamakan Rogers adalah sensitivity training, encounter  group dan Training Group
    (T Group).

    Berbagai macam model pengembangan kurikulum lainnya:
    1)    Ralph Tyler
    Menurut Tyler, pendapat secara rasional, menganalisis, menginterpretasikan kurikulum dan program pengajaran dari suatu lembaga pendidikan sangatlah penting. Kemudian Tyler juga menempatkan empat pertanyaan dalam mengembangkan kurikulum, yaitu:
    a.     What educational purposes should the school seek to attain? (objectives)
    b.     What educational experiences are likely to attain these objectives? (instructional strategic and content/selecting learning experiences)
    c.     How can these educational experiences be organized effectively? (organizing learning experiences)
    d.     How can we determine whether these purposes are being attain? (assessment and evaluation).

    Berdasarkan empat pertanyaan yang diajukan Tyler tersebut bisa kita pahami bahwa yang pertama harus diperhatikan adalah tujuan, yaitu apa tujuan pendidikan yang seharusnya dicari oleh pihak sekolah untuk dicapai. Kedua, mengenai strategi dan isi pembelajaran yang berhubungan dengan seleksi pengalaman belajar, yaitu pengalaman belajar seperti apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Langkah ketiga adalah mengorganisasikan pengalaman belajar, yaitu bagaimana pengalaman-pengalaman belajar tersebut dapat diorganisasikan dengan efektif. Sedangkan langkah yang terakhir adalah penilaian dan evaluasi, yaitu bagaimana kita menentukan apakah tujuan tersebut telah tercapai.
    Ralph Tyler sebagai bapak pengembang kurikulum (curriculum developer), telah menanamkan perlunya hal yang lebih rasional, sistematis, dan pendekatan yang berarti dalam tugas mereka. Tyler juga menguraikan dan menganalisis sumber-sumber tujuan yang datang dari anak didik, mempelajari kehidupan kontemporer, mata pelajaran yang bersifat akademik, filsafat dan psikologi belajar.

    2)    D.K. Wheeler
    Berbeda dengan Tyler dan Taba, Wheeler mempunyai argument tersendiri agar pengembang kurikulum dapat menggunakan proses melingkar (a cycle process) dalam mengembangkan kurikulum, dimana setiap elemen saling berhubungan dan saling bergantung. Sebenarnya model Wheeler ini juga rasional, dimana secara umum suatu langkah tidak dapat diseleaikan sebelum langkah-langkah sebelumnya terselesaikan, tetapi hanya representasinya agak berbeda.
    Adapun langkah-langkah atau Phases Wheeler adalah:
    a.     Selection of aims, goals, and objectives (seleksi maksud, tujuan dan sasaran)
    b.     Selection of learning experiences to help achieve these aims, goals, and objectives. (seleksi pengalaman belajar untuk membantu mencapai maksud, tujuan dan sasaran)
    c.     Selection of content through which certain types of experiences may be offered (seleksi isi melalui tipe-tipe tertentu dari pengalaman yang mungkin ditawarkan)
    d.     Organization and integration of learning experiences and contents with respect to the teaching learning process (organisasi dan integrasi pengalaman belajar dan isi yang berkenaan dengan proses belajar mengajar)
    e.     Evaluation of each phase and the problems of goals (evaluasi setiap fase dan masalah tujuan-tujuan).

    Kontribusi Wheeler dalam pengembangan kurikulum adalah penekanannya terhadap hakikat melingkar yang memberikan indikasi bahwa langkah-langkah di dalamnya bersifat berkelanjutan memiliki makna responsive terhadap perubahan-perubahan pendidikan yang ada. Hal ini juga menekankan pada saling ketergantungan antara satu elemen dengan elemen kurikulum lain.

    3)    Audery dan Howard Nicholls

    Audery dan Howard Nicholls mendefinisikan kembali metode Tyler, Taba, dan Wheeler dengan menekankan pada kurikulum proses yang bersiklus atau berbentuk lingkaran dengan langkah awalnya adalah analisis situasi. Mereka menitikberatkan pada pengembangan kurikulum yang rasional, khususnya kebutuhan untuk kurikulum baru yang muncul dari adanya perubahan situasi. Fase analisis situasi ini merupakan sesuatu yang memaksa para pengembang kurikulum untuk lebih responsif terhadap lingkungan dan terutama dengan kebutuhan anak didik.
     Adapun langkah-langkah tersebut adalah:
    a.      Situational analisys (analisis situasi)
    b.      Selection of objectives (seleksi tujuan)
    c.      Selection and organization of content (seleksi dan organisasi isi)
    d.     Selection and organization of method (seleksi dan organisasi metode)
    e.      Evaluation (evaluasi)

    Model pengembangan Wheeler dan Nicholls termasuk ke dalam model pengembangan kurikulum cycle models. Sama dengan rational models, maka cycle models ini juga memiliki beberapa kelebihan dan juga kelemahan.
    Adapun kelebihan dari cycle models adalah:
    a.        Memiliki struktur logis kurikulum yang dikembangkannya
    b.        Dengan menerapkan situational analysis sebagai titik permulaan dapat memberikan dasar data sehingga tujuan-tujuan yang lebih efektif mungkin akan dikembangkan.
    c.         Melihat berbagai elemen kurikulum sebagai asal yang terus menerus, sehingga dapat menanggulangi situasi-situasi baru dan mempunyai konsekuensi untuk bereaksi terhadap perubahan situasi.

    Sedangkan kelemahan dari cycle models adalah karena model ini memiliki beberapa kesamaan dengan rational model  maka kelemahan yang dimiliki oleh model ini pun hampir sama dengan yang telah diuraikan sebelumnya. Tetapi kelemahan yang lebih menonjol adalah membutuhkan banyak waktu untuk menganalisis situasi belajar. Melihat kondisi juga bahwa kebanyakan pendidik lebih suka mengandalkan intuisi daripada menggunakan basis data yang sistematis dan sesuai dengan situasi.

    4)    Decker Walker
    Walker berpendapat bahwa proses pengembangan kurikulum yang terjadi dalam persiapan yang natural lebih baik dari pada proses di dalam kurikulum itu sendiri.
    Berikut fase-fase yang ditunjukkan oleh Walker.
    a.     adanya pernyataan platform yang diorganisasikan oleh para pengembang, yang berisi serangkaian ide, preferensi atau pilihan, pendapat, keyakinan, dan nilai-nilai yang dimiliki kurikulum. Sehingga para pengembang kurikulum tidak memulai tugasnya dalam keadaan kosong.

    b.     fase pertimbangan mendalam dimana individu mempertahankan pernyataanplatform mereka sendiri dan menekankan pada ide-ide yang ada. Berbagai peristiwa ini memberikan suatu situasi dimana pengembang juga berusaha menjelaskan ide-ide mereka dan mencapai suatu konsensus. Hal yang sangat kompleks ini terjadi sebelum actual curriculum didesain.

    c.     pengembang membuat keputusan tentang berbagai komponen proses atau elemen-elemen kurikulum, dimana keputusan ini diambil setelah ada diskusi mendalam dan dikompromikan oleh individu-individu

    5)    Malcolm Skilbeck

    Malcolm Skilbeck mengembangkan suatu interaksi alternative atau model dinamis bagi proses kurikulum, yang disebut dengan model dynamic in nature. Model ini menetapkan bahwa pengembang kurikulum harus mendahulukan suatu elemen kurikulum dan memulainya dengan suatu urutan dari urutan yang telah ditentukan oleh model rasional.
    Jika dilihat bahwa susunan model ini secara logis termasuk kategori rational by nature. Skillbeck sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah idi mengingatkan bahwa pengembang kurikulum perlu mendahulukan rencana mereka dengan memulainya dari salah satu langkah dari langkah yang ada dan meneruskannya dalam bentuk berurutan. Pengembang kurikulum juga harus mampu mengatasi segala perbedaan dalam langkah-langkah tersebut secara bersamaan.
    Model pengembangan kurikulum yang dikembangkan oleh Walker dan Skilback merupakan model pengembangan kurikulum Interaction Model atau Dynamic Model.
    Adapun kelebihan dari model pengembangan kurikulum ini adalah:
    a.     Memiliki prosedur yang lebih realistis dan fleksibel untuk pengembangan kurikulum, khususnya dari sudut pandang guru atau pendidik yang tentunya memiliki tugas yang banyak.
    b.     Pengembang lebih bebas dan menjadi lebih kreatif dengan tidak dituliskannya tujuan-tujuan yang bersifat perilaku.
    Sedangkan kelemahan dari model pengembangan ini adalah:
    a.     Dalam pelaksanaannya akan cukup membingungkan karena pendekatannya yang tidak sistematis sehingga akan memunculkan hasil yang kurang memuaskan.
    b.     Kurangnya penekanan dalam menempatkan pembangunan dan penggunaanobjectives serta petunjuk-petunjuk yang diberikan.
    c.     Dengan tidak mengikuti susunan yang logis dalam pengembangan kurikulum, para pengembang hanya membuang-buang waktu sehingga kurang efektif dan efisien.

    6)    Peter F. Oliva
    Model perkembangan kurikulurn menurut Oliva sebagaimana yang dikutip oleh Retci Angralia terdiri dari tiga kriteria, yaitu :simple, komprehensif dan sistematis. Walaupun model ini mewakili komponen-¬komponen paling penting, namun model ini dapat diperluas menjadi model yang menyediakan detil tambahan dan menunjukkan beberapa proses yang diasumsikan oleh model yang lebih sederhana.
    Model ini mempunyai 6 komponen yaitu:
    a.     Statement of philosophy (rumusan filosofis)
    b.     Statement of goals (rumusan tujuan umum)
    c.     Statement of objectives (rumusan tujuan khusus)
    d.     Design of plan (desain perencanaan)
    e.     Implementation (implementasi)
    f.      evaluation (evaluasi)

    Pengembangan kurikulum Olivia terdiri dari 12 Komponen yaitu:
    a.     Perumusan filosofis, sasaran, misi serta visi lembaga pendidikan yang kesemuanya bersumber dari analisis kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat,
    b.     Analisis kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada, kebutuhan siswa dan urgensi dari disiplin ilmu yang harus diberikan oleh sekolah,
    c.     Tujuan Umum
    d.     Tujuan Khusus
    e.     Mengorganisasikan rancangan dan mengimplementasikan kurikulum,
    f.      Menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan umum pembelajaran
    g.     Menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan khusus pembelajaran
    h.     Menetapkan strategi pembelajaran untuk mencapai tujuan,
    i.      Pengembangan kurikulum
    j.      Mengimplementasikan strategi pembelajaran
    k.     Pengembangan kurikulum kembali
    l.      Evaluasi terhadap pembelajaran dan evaluasi kurikulum.

    7)    Integrated Curriculum (Kurikulum Terpadu)
    Kurikulum terpadu dasarnya dasarnya pada pemecahan suatu problem, yakni “problem sosial” yang dianggap penting dan menarik bagi anak didik. Dalam melaksanakannya disusunlah unit sumber yang mencakup bahan, kegiatan belajar, dan sumber-sumber yang sangat luas.
    Sumber unit  digunakan sebagai sumber untuk satuan pelajaran yang dipelajari anak didik di kelas. Perbedaan individual anak didik tidak harus selalu mempelajari hal yang sama dan ada kebebasan bagi anak didik memilih pelajaran menurut minat, bakat, dan kemampuan mereka masing-masing. Pemahamannya bahwa unit sumber merupakan apa yang secara ideal dapat dipelajari anak didik, sedangkan satuan pelajaran adalah apa yang secara aktual dipelajari anak didik.


    B. MODEL-MODEL IMPLEMENTASI KURIKULUM


    PERTIMBANGAN DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM
    1.     Hubungan antara implementasi dengan perencanaan
    Implementasi kurikulum yang sukses dihasilkan dari kehati-hatian dalam membuat perencanaan. Dalam membuat perencanaan harus berdasarkan pada tujuan pengembangan kurikulum tersebut. Dalam mengimplementasikan kurikulum diperlukan perencanaan yang terfokus pada tiga faktoryang tidak dapat dipisahkan, yaitupihak yang terlibat, program, dan proses. Satu alasan mengapa banyak implementasi kurikulum mengalami kegagalan adalah perhatian yang hanya terfokus pada mengubah program tetapi tidak cukup perhatian pada kebutuhan para guru dan organisasi sekolah.

    2.     Incrementalism
    Implementasi, tidak terjadi dengan tiba-tiba dengan semua guru. Idealnya, suatu proses implementasi membutuhkan waktu bagi guru dalam mencoba kurikulum yang baru. Loucks dan Lieberman sudah menemukan bahwa guru berhasil dengan suatu kurikulum baru jika guru mengorientasikan diri mereka kepada materi dan terlibat aktif dalam implementasi kurikulum.

    3.     Communication
    Kapanpun dan dimanapun saat program baru dirancang, diperlukan komunikasi ke semua pihak yang terkait.

    4.     Cooperation
    Para perancang kurikulum harus didukung dalam modifikasi program kurikulum baru. Diperlukan berbagai pelatihan terutama kepada para pendidik.
    Guru mempunyai tanggung jawab utama adalah untuk mengajarkan kurikulum, oleh karena itu mereka harus memiliki pemahan yang tepat mengenai konsep kurikulum dan bagaimana suatu kurikulum diciptakan.Tanpa dukungan keuangan cukup, usaha untuk mendapatkan suatu program yang efektif akan gagal. Uang diperlukan untuk peralatan dan material suatu program baru. Uang adalah juga diperlukan untuk menyediakan dukungan manusia untuk implementasi sebuah usaha. Di tingkatan yang lokal itu, ada lima langkah yang dilibatkan dalam budgetting program baru: persiapan, ketundukan, adopsi, pelaksanaan, dan evaluasi.
    Suatu hubungan kepercayaan harus ada antar semua organ dalam sekolah, khususnya antara administrator dan guru. Kepercayaan adalah penjamin utama kunci sukses inovasi dan implementasi. Implementasi adalah suatu usaha emosional dan kolaboratif. Dukungan adalah hal penting jika implementasi diharapkan sukses. Dan Lortie menunjuk para guru mengalokasikan mayoritas waktu kerja mereka dalam kelas dengan para siswa mereka, oleh karena itu hendaknya mereka mempunyai komunikasi minimal dengan rekan dan pemimpin mereka. Peluang untuk para guru untuk bekerja sama, berbagi gagasan, bersama-sama memecahkan permasalahan, dan dengan cara kerja sama menciptakan material yang memungkinkan implementasi kurikulum dapat sukses.

    IMPLEMENTASI SEBAGAI PROSES PERUBAHAN KURIKULUM

    Dalam mengimplementasikan suatu program baru dalam sebuah organisasi maupun sekolah, membutuhkan pendekatan yang multi tasking, yang tergambar dalam beberapa model sebagai berikut:

    1)    Overcoming Resistance to Change Model
    Model untuk mencegah adanya penolakan terhadap perubahan akibat implementasi kurikulum baru. Langkah-langkah dalam model ini:
    Langkah 1: Unrelated concerns. Para guru pada tingkatan ini tidak merasa adanya suatu hubungan antara diri mereka dengan perubahan yang diusulkan. Sebagai contoh, jika suatu ilmu pengetahuan program baru sedang diciptakan dalam suatu sekolah, seorang guru pada langkah ini akan sadar akan usaha tetapi tidak akan mempertimbangkan bahwa ia atau dia akan terpengaruh oleh atau terkait dengan usaha itu. Guru tidak akan menentang perubahan sebab ia benar-benar tidak merasa perubahan mempengaruhi daerah profesionalnya atau pribadinya.
    Langkah 2: Personal concerns. Pada langkah ini, individu bereaksi kepada inovasi dalam hubungan dengan situasi pribadi nya. Ia mempunyai kaitan dengan bagaimana program yang baru, apa dan bagaimana dia sedang lakukan. Contoh, guru akan merasa bahwa ia akan menjadi terlibat dengan program yang baru itu. Guru akan menghadapi pertanyaan seberapa baik ia bisa memberi pengajaran dalam perubahan.
    Langkah 3: Task-related concerns. Concern pada tingkatan ini berhubungan dengan penggunaan nyata dari inovasi dalam kelas. Contoh, guru akan mempunyai kaitan dengan bagaimana cara benar-benar menerapkan program yang baru. Berapa banyak waktu akan diperlukan untuk pengajaran program baru ini? Materi cukup disajikan? Apakah strategi yang terbaik untuk mengajar program yang baru?
    Langkah 4: Impact-related concerns. Ketika bereaksi pada langkah ini, seorang guru jadi lebih terkait dengan bagaimana inovasi akan mempengaruhi organisasi. Guru tertarik akan bagaimana program yang baru mungkin mempengaruhi para siswa, para rekan kerja, dan masyarakat. Kekuatan guru ingin menentukan dampak program, pada apa ia sedang mengajar. Contoh, memungkinkan para siswa untuk hidup di masa datang dunia?
    Ketika bekerja dengan ORC model, pendidik harus hadapi secara langsung dengan perhatian pada langkah-langkah 2, 3, dan 4. Jika mereka mengabaikannya, masyarakat tidak akan menerima inovasi.

    2)    Leadership-Obstacle Course Model
    Pelatihan yang dilakukan pimpinan organisasi sekolah agar lima  kriteria berikut terpenuhi:
    a.     Setiap pihak harus memiliki pemahaman yang cukup terhadap kurikulum baru yang akan diimplementasikan
    b.     Adanya keahlian dan kapabilitas setiap personil yang terlibat sesuai dengan program yang akan diterapkan.
    c.     Lengkapnya kebutuhan material dan peralatan
    d.     Organisasi sekolah harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa menerima program baru yang akan diterapkan.
    e.     Setiap kalangan harus termotivasi untuk mensukseskan progam baru

    3)    Linkage Model
    Proses dasar dari model ini adalah transfer knowledgedalampenyelesaian masalah yang terjadi dalam pelaksanaan kurikulum baru.

    4)    Organizational Development Model

    5)    Rand Change Agent Model

    Dalam model ini, diperlukan pengaturan prosedur untuk memastikan kurikulum atau program-program baru bisa berjalan dengan lancar

    CHANGE AGENT ROLES
    Seseorang harus menjadi perintis atau pencetus awal dalam proses pengenalan suatu program baru dalam dunia pendidikan. Setiap orang bisa menjadi perintis tersebut. Suatu perubahan akan berhasil dalam pelaksanaannya bila ada pencetus awal perubahan kurikulum tersebut.
    Pihak-pihak yang bisa  menjadi pelaksana awal kurikulum yang sudah dikembangkan, antara lain:
    1)    Guru
    2)    Kepala Sekolah atau pimpinan organisasi
    3)    Fasilitator-Koordinator
    Bisa dari dalam ataupun luar sekolah yang terlibat dalam memfasilitasi dan melakukan koordinasi  kurikulum yang disempurnakan.
    4)    Supervisor (pengawas)


    Penutup
    Pengembangan kurikulum sebagai proses untuk memperbaiki serta mengembangkan program pengajaran, merupakan hal yang wajib untuk dilaksanakan. Hal ini dilaksanakan untuk mengimbangi perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi. Mengingat hal tersebut maka dalam proses pengembangannya haruslah senantiasa memperhatikan faktor-faktor masyarakat, yang salah satunya adalah peserta didik. Selain itu faktor lingkungan juga berperan serta dalam menentukan pengembangan kurikulum.
    Dalam proses implementasi kurikulum baru yang telah disempurnakan  memerlukan kerjasama berbagai pihak yang terlibat dalam organisasi sekolah.
    Kenyataan di lapangan masih ditemukan satuan pendidikan yang berusaha mengembangkan kurikulumnya tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut. Mereka hanya menambahkan beberapa kegiatan dan ekstrakurikuler dalam  isinya tanpa mempertimbangkan apakah hal tersebut bermanfaat bagi peserta didik atau tidak. Padahal berdasarkan teori dalam mengembangkan kurikulum, peserta didik merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan sebagai pertimbangan  dalam proses pengembangan kurikulum.



    REFERENSI
    Ornstein, Allan C., & Francis P. Hunkins, 1988, “Curriculum; Foundations, Principles, and Issues”, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey
    Zais, Robert S, 1976, ”Curriculum; Principles and Foundations”, Harper & Row, Publishers, New York

    0 komentar:

    Posting Komentar