Jumat, 15 Juli 2016

Tagged Under:

DESAIN KURIKULUM

By: Unknown On: 00.09
  • Share The Gag


  • DESAIN KURIKULUM

    Desain Kurikulum
    Konsep mengenai desain kurikulum sebenarnya membawa kita menuju kepada fokus dalam salah satu proses kurikulum. Pada permulaan proses kurikulum yakni perencanaan lah konsep desain dibicarakan.
    Yang dimaksud desain adalah rancangan, pola, atau model. Mendesain kurikulum berarti menyusun rancangan atau menyusun model kurikulum sesuai dengan visi dan misi sekolah. Tugas dan peran seorang desainer kurikulum, sama seperti seorang arsitek. Sebelum menentukan bahan dan cara mengkonstruksikan bangunan terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model bangunan yang akan dibangun.[1]
    Dalam mempertimbangkan desain kurikulum, seorang –atau lebih pembuat kurikulum akan dihadapkan pada pertanyaan: ”Desain kurikulum seperti apa yang bisa saya kembangkan sehingga mampu memberikan kontribusi yang baik untuk semua kalangan?”.[1]
    Desain kurikulum menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horisontal dan vertikal. Dimensi horisontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini sering diintegrasikan dengan proses belajar dan mengajarnya. Dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran[2].
    Pola-pola desain kurikulum yang ada sebenarnya dipengaruhi terhadap apa yang diyakininya dalam memberikan pengertian mengenai kurikulum, yang secara tidak langsung hal itu juga dipengaruhi oleh pandangan seseorang terhadap teori pendidikan yang dipercayainya.
    Terdapat beragam pola kurikulum, namun demikian secara garis besar desain kurikulum dapat dikelompokan menjadi tiga macam, yaitu: Desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar (subject centered design), Desain kurikulum yang berpusat pada peranan siswa (learner centered design), dan Desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat (problem centered design)[3].
    Subject Centered Design
    Subject centered design atau yang lebih dikenal dengan desain kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran merupakan bentuk desain kurikulum yang paling populer, paling tua dan paling banyak digunakan. Dalam subject centered design, kurikulum dipusatkan pada isi atau materi yang akan diajarkan. Kurikulum terdiri atas sejumlah mata-mata pelajaran[4].
    Terdapat tiga bentuk kurikulum yang berorientasi pada mata pelajaran, yaitu: Subject matter design, disciplines design, dan broad-field design[5].
    a). Subjectdesign
    Pada subject design, bahan atau isi kurikulum disusun dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, misalnya: mata pelajaran sejarah,ilmu bumi, kimia, fisika, berhitung dan lain sebagainya. Mata pelajaran itu tidak berhubungan satu sama lain. Pada pengembangan kurikulum di dalam kelas atau pada kebiasaan belajar mengajar, setiap guru hanya bertanggung jawab pada mata pelajaran yang diberikannya.
    Desain ini berdasarkan pada keyakinan bahwa yang membuat manusia memiliki ciri khas dari makhluk lain adalah kecerdasan mereka. Dengan kata lain, dalam merencanakan suatu kurikulum akan lebih baik jika dipusatkan pada mata pelajaran yakni pengetahuan-pengetahuan sehingga manusia akan bertambah cerdas.
    b). Disciplines design
    Bentuk ini merupakan pengembangan dari subject design, keduanya masih menekankan kepada isi atau materi kurikulum. Perbedaannya, pada subject design belum ada kriteria yang tegas tentang apa yang disebut subject (ilmu). Sementara pada disciplines design kriteria tersebut telah tegas, yang membedakan apakah suatu pengetahuan itu. Perbedaan lain terletak pada tingkat penguasaan, discipline design tidak seperti subject design yang menekankan penguasaan fakta-fakta dan informasi tetapi pada pemahaman (understanding)[6].
    Bentuk ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan subject design, diantaranya: pertama, kurikulum ini memiliki organisasi yang sistemik dan efektif tetapi juga dapat memelihara integritas intelektual manusia. Kedua, peserta didik tidak hanya menguasai serentetan fakta tetapi dapat menguasai konsep, hubungan, dan proses-proses intelektual yang berkembang pada siswa.
    c). Broad-field design
                Broad-filed design merupakan pengembangan dari subject design dan disciplines design. Dari dua desain tersebut masih menunjukkan adanya pemisahan antar-mata pelajaran. Salah satu usaha untuk menghilangkan pemisahan tersebut adalah dengan mengembangkan the broad field design yakni desain yang menyatukan beberapa mata pelajaran yang berdekatan atau berhubungan menjadi satu bidang studi seperti sejarah, geografi, dan ekonomi digabung dalam pengetahuan sosial, dan sebagainya[7].
    Broad field sudah merupakan perpaduan atau fusi dari sejumlah mata pelajaran yang berhubungan. Ciri umum dari broad-fields ini adalah kurikulum terdiri dari suatu bidang pengajaran dimana di dalamnya berpadu sejumlah mata pelajaran yang saling berhubungan.
    Tujuan dari desain ini adalah menyiapkan para siswa yang dewasa ini hidup dalam dunia informasi yang sifatnya spesialistis, dengan pemahaman  yang bersifat menyeluruh.

    Learner Centered Design
    Learner centered design yakni kurikulum yang berpusat pada peranan siswa. Desain ini hadir sebagai reaksi sekaligus penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan subject centered design. Desain ini berbeda dengan subject centered, yang berlatar belakang dari cita-cita untuk melestarikan dan mewariskan budaya.
    Learner centered hadir dari para ahli kurikulum yang memberikan pengertian bahwa kurikulum didesain dan dibuat untuk peserta didik. Desain ini memberikan tempat utama kepada peserta didik. Didalam pendidikan atau pengajaran yang belajar dan berkembang adalah peserta didik sendiri. Guru atau pendidik hanya berperan menciptakan situasi belajar-mengajar, mendorong, dan memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik[8].
    Ada dua ciri utama yang membedakan desain ini dengan subject centered, yakni: pertama, learner centered mengembangkan kurikulumdengan berpusat pada peserta didik dan bukan dari isi. Kedua, learner centered bersifat not-preplanned (tidak direncanakan sebelumnya). Ada beberapa variasi model learner centered, yakni kurikulum berpusat pada anak didik (child centered design), kurikulum berpusat pada pengalaman (experience-centered).
    a). Child centered design
    Para penganjur child-centered design ini meyakini bahwa pembelajaran yang optimal adalah ketika siswa dapat aktif di lingkungannya. Pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari kehidupan siswa di lingkungannya. Dengan demikian, child centered design harus berdasar kepada kehidupan, kebutuhan, dan kepentingan siswa[9].
    b). Experience-centered design
                Experience-centered design adalah desain kurikulum yang berpusat pada kebutuhan anak. Ciri utama dari experience-centered design adalah pertama, struktur kurikulum ditentukan oleh kebutuhan dan minat peserta didik. Kedua, kurikulum tidak dapat disusun terlebih dahulu, melainkan disusun secara bersama-sama oleh guru dengan para siswa. Ketiga, desain kurikulum ini menekankan prosedur pemecahan masalah.
    Desain ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: pertama, karena kegiatan pendidikan didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik,  maka motivasi bersifat instrinsik dan tidak perlu dirangsang dari luar. Kedua, pengajaran memperhatikan perbedaan individual sehingga mereka mau turut dalam kegiatan belajar kelompok karena membutuhkannya. Ketiga, kegiatan-kegiatan pemecahan masalah memberikan bekal pengetahuan untuk menghadapi kehidupan diluar sekolah[10
    Problem Centered Design
    Problem centered design berpangkal pada filsafat yang mengutamakan peranan manusia (man centered). Berbeda dengan learner centered yang mengutamakan manusia atau peserta didik secara individual, problem centered design menekankan manusia dalam kesatuan kelompok yaitu kesejahteraan masyarakat. Konsep pendidikan para pengembang model kurikulum ini berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai makhluk social selalu hidup bersama dan seringkali manusia juga menghadapi masalah-masalah yang harus dipecahkan bersama-sama.
    Konsep ini menjadi landasan pula dalam pendidikan dan pengembangan kurikulum. Berbeda dengan learner centered, kurikulum ini disusun terlebih dahulu (preplanned). Isi kurikulum berupa masalah-masalah sosial yang dihadapi peserta didik sekarang dan yang akan datang. Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan, kepentingan, dan kemampuan peserta didik sekarang dan yang akan datang. Problem centered design menekankan pada isi maupun perkembangan peserta didik. Ada dua variasi model desain kurikulum ini, yaitu the areas of living design, dan the core design.
    a). The areas of living design
    Desain kurikulum terhadap bidang kehidupan dimulai oleh Herbert spencer pada abad 19, dalam tulisannya yang berjudul What knowledge is of most woth? ia mengungkapkan bahwa areas of living design menekankan prosedur belajar melalui pemecahan masalah sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk menghadapi kehidupannya di luar sekolah
    Ciri lain dari model desain ini adalah dengan menggunakan pengalaman dan situasi-situasi nyata dari peserta didik sebagai pembuka jalan dalam mempelajari bidang-bidang kehidupan sehingga desain ini selain mampu menarik minat peserta didik juga akan mampu mendekatkannya pada pemenuhan kebutuhan hidupnya dalam masyarakat.
    Desain ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: pertama, the areas of living design merupakan the subject matter design tetapi dalam bentuk yang terintegrasi. Kedua, prinsip belajar aktif dapat diterapkan.Ketiga, menyajikan bahan ajar dalam bentuk yang relevan. Keempat menyajikan bahan ajar yang fungsional, dan kelima motivasi belajar datang dari dalam.
    b). The Core Design
                The core design timbul sebagai reaksi utama kepada separate subject design, yang sifatnya terpisah-pisah. Dalam mengintegrasikan bahan ajar, mereka memilih mata-mata pelajaran/ bahan ajar tertentu sebagai inti (core).
    Terkait pengertian, banyak ahli yang memberikan pengertian dari core curriculum diantaranya:
    ·        Saylor dan Alexander (1956), mengatakan bahwa istilah core curriculum menunjuk pada suatu rencana yang mengorganisasikan dan mengatur bagian utama dari program pendidikan umum di sekolah.
    ·        Faunce dan Bossing (1951), mendefinisikan bahwa istilah core curriculum menunjuk pada pengalaman belajar yang fundamental bagi peserta didik[11].
    Adapun karakteristik dari core curriculum yang dikemukakan oleh Saylor dan Alexander (1956), antara lain:
    1.     Program kurikulum inti melengkapi pendidikan umum, dan tujuan program adalah seluas dengan hasil dasar yang dicapai melalui program pendidikan umum.
    2.     Kelas dalam kurikulum inti (core curriculum) disusun atau diatur untuk dua atau lebih periode kelas pada umumnya.
    3.     Kegiatan-kegiatan dan pengalaman belajar disusun dalam bentu kesatuan dan tidak dibatasi oleh garis-garis pelajaran yang terpisah-pisah.
    4.     Guru kurikulum inti menggunakan metode pengajaran yang lebih fleksibel dan bebas.
    5.     Program kurikulum inti menggunakan berbagai macam pengalaman belajar.
    6.     Bimbingan merupakan bagian yang pokok dari kegiatan kurikulum inti[12].

    [1] Ornstein A.C dan Hunkins, F.P, Curriculum: Foundation, Principles, and theory, (Boston: Allyn and Bacon, 1988), h. 232
    [2] Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan kurikulum: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 113
    [3] Ornstein A.C dan Hunkins, F.P, Curriculum: Foundation, Principles, and theory, (Boston: Allyn and Bacon, 1988), h.242
    [4] Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan kurikulum: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h.113
    [5] Ornstein A.C dan Hunkins, F.P, Curriculum: Foundation, Principles, and theory, (Boston: Allyn and Bacon, 1988), h.242-249
    [6] Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan kurikulum: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h.116
    [7] Ornstein A.C dan Hunkins, F.P, Curriculum: Foundation, Principles, and theory, (Boston: Allyn and Bacon, 1988), h.245
    [8] Ornstein A.C dan Hunkins, F.P, Curriculum: Foundation, Principles, and theory, (Boston: Allyn and Bacon, 1988), h.249
    [9] Dr. H. Zurinal dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan: Pengantar dan dasar-dasar pelaksanaan pendidikan.
    [10] Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan kurikulum: Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h.
    [11] Oemar hamalik, “Pengembangan kurikulum: Dasar-dasar dan pengembangannya”, (Bandung: Mandar maju, 1990), h. 109
    [12] Oemar hamalik, “Pengembangan kurikulum: Dasar-dasar dan pengembangannya”, (Bandung: Mandar maju, 1990), h.110-111


    [1] Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan KTSP, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010) h. 63

    0 komentar:

    Posting Komentar