BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Salah
satu komponen yang menjadi sasaran peningkatan kualitas pendidikan adalah
sistem pembelajaran di kelas. proses pembelajaran ini merupakan tanggung jawab
guru dalam mengembangkan segala potensi yang ada pada siswa. Tujuan pokok
proses pembelajaran adalah untuk mengubah tingkah laku siswa berdasarkan tujuan
yang telah di rencanakan dan di susun oleh guru sebelum proses kegiatan
pembelajaran berlangsung. Perubahan tingkah laku itu mencangkup aspek
intelektual.
Ketika
proses pembelajaran di pandang sebagai proses perubahan tingkah laku siswa,
peran penilaian dalam proses pembelajaran merupakan suatu proses untuk
mengumpulkan, menganalisa, dan menginterpretasi informasi
untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan pembelajaran, khususnya pembelajaran
sejarah. Berhasil atau tidak nya suatu proses kegiatan belajar mengajar, sangat
tergantung pada model pembelajaran yang di terapkan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, Rumusan Masalah yang akan di bahas, adalah :
1. Macam-macam model pembelajaran Sejarah.
2. Teori-teori pembelajaran menurut para ahli.
3. Model dan evaluasi pembelajaran sejarah.
C.
TUJUAN
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah,untuk mengetahui teori-teori dan
model pembelajaran yang perlu di terapkan di sekolah-sekolah, demi
berhasilnya suatu proses kegiatan belajar-mengajar, khususnya pada pelajaran
Sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TEORI DAN MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH
Pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi pada tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan suatu
kegiatan tugas professional pendidikan, yang bertolak dari perubahan kondisi
pembelajaran saat ini dan merekonstruksi suatu model pembelajaran ke masa yang
akan datang. Berkaitan dengan hal itu perlu dipahami terlebih dahulu apa dan
bagaimana model dalam konteks praktik pembelajaran.
Menurut Mills (1989:4),
model adalah bentuk reprensentasi akurat, sebagai proses aktual yang
memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan
model itu. Hal itu merupakan interpretasi atas hasil observasi
dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem.Perumusan model mempunyai
tujuan:
1. Memberikan gambaran kerja sistem untuk
periode tertentu, dan di dalamnya secara implisit terdapat seperangkat aturan
untuk melaksanakan perubahan;
2. Memberikan gambaran tentang fenomena
tertentu menurut diferensiasi waktu atau memproduksi seperangkat aturan yang
bernilai bagi keteraturan sebuah sistem;
3. Memproduk model yang mempresentasikan
data dan format ringkas dengan kompleksitas rendah.
Dengan
demikian, suatu model dapat ditinjau dari aspek mana kita memfokuskan suatu
pemecahan permasalahannya. Pengertian model pembelajaran dalam konteks ini,
merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi
pendidikan dan teori belajar, yang dirancang berdasarkan proses analisis yang
diarahkan pada implementasi KTSP dan implikasinya pada tingkat operasional
dalam pembelajaran. Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana
atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi
pembelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di dalam kelas dalam setting
pengajaran. Untuk menetapkan model mengajar yang tepat, merupakan suatu
pekerjaan yang tidak mudah, karena memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai
materi yang akan diberikan dan model mengajar yang dikuasai.
Memilih
suatu model mengajar, harus juga disesuaikan dengan realitas yang ada dan
situasi kelas yang akan dihasilkan dari proses kerjasama yang dilakukan antara
guru dan peserta didik. Meskipun dalam menentukan model mengajar yang cocok itu
tidak mudah, tetapi guru harus memiliki asumsi, bahwa hanya ada model mengajar
yang sesuai dengan model belajar. Apabila guru mengharapkan peserta didiknya
menjadi produktif, maka guru harus membiarkannya berkembang sesuai dengan gayanya
masing-masing. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar
peserta didik.
Banyak
model mengajar yang telah dikembangkan oleh para ahli. Pengembangan
model tersebut didasarkan pada konsep teori yang selama ini
dikembangkan. Mengingat banyaknya model mengajar yang
telah dikembangkan,Bruce Joyce et.al (2000) mengelompokkan
menjadi empat rumpun yaitu: model pemrosesan informasi (processing information
model), model pribadi (personal model), model interaksi sosial (social model),
dan model perilaku (behavior model).
Model mengajar pemrosesan
informasi terdiri dari model mengajar yang menjelaskan bagaimana cara individu
memberi respon terhadap stimulus yang datang dari lingkungan. Dalam prosesnya
ditempuh langkah-langkah seperti mengorganisasi data, memformulasikan masalah,
membangun konsep dan rencana pemecahan masalah, serta penggunaan simbol verbal
dan non verbal. Banyak
model mengajar yang tergolong pada kelompok model ini, yaitu: Inductive
thinking (classification-oriented), Concept attainment, Scientific inquiry,
Inquiry Tarining.
Model pribadi berorientasi pada perkembangan
diri individu. Pelaksanannya lebih menekankan pada upaya membantu individu
dalam membentuk dan mengorganisasikan realita yang unik serta lebih
memperhatikan kehidupan emosional peserta didik. Upaya pengajaran lebih
diarahkan pada menolong peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuannya
dalam mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya.
Yang tergolong pada kelompok model mengajar
ini adalah: Nondirective teaching dan Enhancing self esteem.
Model Interaksi Sosial mengutamakan pada hubungan individu
dengan masyarakat atau orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada proses
dimana realita yang ada dipandang sebagai negosiasi sosial. Prioritas utama
diletakkan pada kecakapan individu dalam berhubungan dengan orang lain.
Model mengajar perilaku dibangun atas dasar
teori yang umum, yaitu kerangka teori perilaku. Salah satu cirinya adalah
kecenderungan memecahkan tugas belajar kepada sejumlah perilaku yang kecil-kecil
dan berurutan serta dapat terukur. Belajar dipandang sebagai sesuatu yang tidak
menyeluruh, tetapi diuraikan dalam langkah-langkah yang konkrit dan dapat
diamati. Mengajar berarti mengusahakan terjadinya perbuatan dalam perilaku
siswa, dan perubahan tersebut haruslah teramati.
B. PERGESERAN KONSEP PEMBELAJARAN
Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran yang
ditunjang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong
terjadinya pergeseran konsep pembelajaran. Model mengajar bergeser ke arah
model belajar. Asumsi pergeseran tersebut, bertolak dari peserta didik yang
diharapkan dapat meningkatkan upaya dirinya memperkaya pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, akan
tetapi bagian integral dalam sistem pembelajaran. Berdasarkan teori belajar
yang ada, bermuara pada tiga model utama, yaitu:
Behaviroisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme.
1. Pembelajaran Behavirosime
Good et.al.(1973) menganggap Behaviorisme atau
tingkah laku dapat diperhatikan dan diukur. Prinsip utama bagi teori ini ialah
faktor rangsangan (stimulus), Respon (response) serta penguatan
(reinforcement). Teori ini menganggap faktor lingkungan sebagai rangsangan dan
respon peserta didik terhadap rangsangan itu ialah responsnya. Pendapat ini
sejalan dengan pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa hubungan di
antara stimulus dan respon akan diperkuat apabila responnya positif diberikan
reward yang positif dan tingkah laku nagatif tidak diberi apa-apa (hukuman).
Sebagai contoh, seseorang peserta didik diberikan ganjaran
positif setelah dia menunjukkan respon positif. Dia akan mengulangi respon
tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal demikian akan
diperoleh dalam pengajaran guru dengan adanya latihan dan ganjaran terhadap
sesuatu latihan. Penguatan (reinforcement) yang terbina akan memberi rangsangan
supaya belajar lebih bersemangat dan bermotivasi tinggi. Peserta didik yang
berprestasi memperoleh pengetahuan yang mereka inginkan dalam sesuatu sesi pembelajaran,
dapat dikatakan mendapat response positif.
2. Pembelajaran Kognitif
Model kognitif berkembang sebagai protes
terhadap teori perilaku yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki
perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui
upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan
pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah
Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki
penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer)
yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut
dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman
belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep
sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari
lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual,
meliputi: (1) enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang
dunia melalui tindakannya pada objek, (2) iconic,dimana belajar
terjadi melalui penggunaan model dan gambar, dan (3) symbolicyang
mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak.
Gagne melakukan penelitian pada belajar
mengajar sebagai suatu rangkaian pase, menggunakan step-step kognitif:
pengkodean (cooding), penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving),
dan pemindahan informasi (transferring information). Menurut Bruner (1963)
perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh
caranya melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan symbolic. Tahap
pertama adalah tahap enaktif, dimana siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya
dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik dimana ia
melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.
Tahap ketiga adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai
gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan
komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol.
Menurut Hartley & Davies (1978),
prinsip-prinsip kognitifisme banyak diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya
dalam melaksanakan kegiatan perancangan pembelajaran, yang meliputi:
1. Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan
memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika
tertentu.
2. Penyusunan materi pelajaran harus dari yang
sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik
harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana.
3. Belajar dengan memahami lebih baik dari
pada menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang
telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan
apa yang telah diketahui sebelumnya.
4. Adanya perbedaan individu pada siswa
harus diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar
siswa. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual,
kepribadian, kebutuhan akan suskses dan lain-lain.
3. Pembelajaran Konstruktivisme
Konstruktivisime
merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun
dalam diri manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam
proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun
universitas, meskipun belum jelas terlihat.
Berdasarkan faham
konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru tidak serta merta
memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang serba
sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus membangun suatu
pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran adalah
hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola pembinaan ilmu pengetahuan di
sekolah merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh
peserta didik sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan.
Fikiran peserta didik tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang
terasing dalam lingkungan sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah
realita yang dia bina sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu
set idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan
mereka.Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru,
guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila
pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian
daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk
ilmu pengetahuan dapat dibina.
John Dewey menguatkan
teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus
melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina
pengalaman secara berkesinambungan. Beliau juga menekankan kepentingan
keikutsertakan peserta didik di dalam setiap aktivitas pengajaran dan
pembelajaran.
Ditinjau persepektif
epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme, maka fungsi guru akan
berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran,
penilaian, penelitian dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh,
perspektif ini akan mengubah kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu
kepada kemampuan peserta didik mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan
oleh guru, kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada
kemampuan peserta didik dalam membina skema pengkonsepan berdasarkan pengalaman
yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penelitian dari pembinaan model
berdasarkan kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep ditinjau dari kaca
mata peserta didik.
Beberapa aliran pembelajaran
konstruktivisme:
a. Piaget
Pembelajaran konstruktivisme berdasarkan
pemahaman Piaget, beranggapan bahwa gambaran mental seseorang dihasilkan pada
saat berinteraksi dengan lingkungannya, pengetahuan yang diterima oleh
seseorang merupakan proses pembinaan diri dan pemaknaan, bukan internalisasi
makna dari luar.
b. Konstrukstivisme personal
pembelajaran menurut konstruktivisme personal,
memiliki beberapa anggapan (postulat), yaitu: 1) Set mental (idea) yang dimiliki
peserta didik mempengaruhi panca indera dan pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap proses pembentukan pengetahuan, 2) Input yang diterima peserta didik
tidak memiliki makna yang tetap, 3) peserta didik menyimpan input yang diterima
tersebut ke dalam memorinya, 4) input yang tersimpan dalam memori tersebut
dapat digunakan lagi untuk menguji input lain yang baru diterima, 5) peserta
didik memiliki tanggung jawab terhadap apa yang menjadi keputusannya.
c. Konstrukstivisme sosial
Konstruktivisme sosial beranggapan bahwa
pengetahuan yang dibentuk oleh peserta didik, merupakan hasil interaksinya
dengan lingkungan sosial disekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa:
a) pengetahuan dibina oleh manusia, 2) pembinaan pengetahuan bersifat sosial
dan personal, 3) pembina pengetahuan personal adalah perantara sosial dan
pembina pengetahuan sosial adalah perantara personal, 4) pembinaan pengetahuan
sosial merupakan hasil interaksi sosial, dan 5) interaksi sosial dengan yang
lain adalah sebagian dari personal, pembinaan sosial, dan pembinaan pengetahuan
bawaan.
d. Konstrukstivisme radikal
Konstruktivisme radikal beranggapan bahwa: 1)
kebenaran tidak diketahui secara mutlak, 2) pengetahuan saintifik hanya dapat
diketahui dengan menggunakan instrumen yang tepat, 3) konsep yang terjadi
adalah hasil yang diperoleh individu setelah melakukan ujicoba untuk
menggambarkan pengalaman subjektif, 4) konsep akan berkembang dalam upaya
penggambaran fungsi efektif tentang pengalaman subjektif.
Implikasi konstrukstivisme terhadap
pembelajaran adalah: (1) Pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik, jika
peserta didik tidak diberi kesempatan menyelesaikan masalah dengan tingkat
pengetahuan yang dimilikinya; (2) Pada akhir proses pembelajaran, peserta didik
memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda sesuai dengan kemampuannya; (3) Untuk
memutuskan (menilai) keputusannya, peserta didik harus bekerja sama dengan
peserta didik yang lain; (4) Guru harus mengakui bahwa peserta didik membentuk
dan menstruktur pengetahuannya berdasarkan modalitas belajar yang dimilikinya.
C. PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN
Berpijak pada tiga teori belajar seperti
dijelaskan di atas, maka dalam pengembangan model pembelajaran harus selaras
dengan teori belajar yang dianut. Dengan kata lain, apabila kita menganut teori
behaviorisme, maka model pembelajaran yang dapat digunakan diantaranya adalah
model pembelajaran yang tergolong pada kelompok perilaku. Untuk penganut teori
kognitivisme, model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran
yang mengarah pada proses pengolahan informasi. Adapun untuk yang menganut teori
belajar konstruktivisme, maka model pembelajaran yang dikembangkan adalah model
pembelajaran yang bersifat interaktif dan model pembelajaran yang berpusat pada
masalah. Hal ini didasarkan pada salah satu prinsip yang dianut oleh
konstruktivisme, yaitu bahwa setiap siswa menstruktur pengetahuannya sendiri
berdasarkan pengalaman dan hasil interaksinya dengan lingkungan sekitar. Jadi
pengetahuan itu tidak begitu saja diberikan oleh guru.
1. Pengembangan model pembelajaran behaviorisme.
Sesuai dengan pilosofis yang dianut oleh para
ahli behavioris tentang belajar, yaitu perubahan perilaku yang dapat diukur,
maka dalam pengembangan model pembelajaran harus diarahkan pada proses
penciptaan perilaku baru yang dapat diukur. Menurut pilosofis behaviorist,
belajar terjadi berdasarkan pola berfikir deduktif, dan siswa belajar secara
individu (individual learning). Selain itu, dalam proses pemelajarannya lebih
terfokus pada guru (teacher centered). Model pembelajaran yang dapat
dikembangkan diantaranya adalah model pembelajaran mastery, model pembelajaran
langsung, model pembelajaran simulasi, model pembelajaran sosial, dan model
pembelajaran berprogram. Setiap model tersebut dapat dikembangkan
dengan berbagai pendekatan dan strategi.
2. Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori
kognitivisme.
Menurut pandangan
kognitivis, belajar bukan hanya sekedar perubahan perilaku yang dapat diukur,
melainkan bagaimana pengetahuan tersebut diproses. Dengan kata lain, menurut
kognitivis belajar bukan hanya sekedar keterkaitan antara stimulus dan respons,
melainkan apa yang terjadi didalam fikiran atau mental orang yang belajar.
Menurut pandangan kognitivis, seseorang dikatakan belajar apabila dalam diri
individu tersebut terjadi proses pengolahan informasi dari saat menerima
informasi baru, mengolah, menyimpan dan mengulang kembali. Menurut pandangan
ini, belajar akan baik apabila diseusuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
Artinya, mengajarkan topik yang sama untuk anak dan orang dewasa akan memiliki
cara yang berbeda. Dalam proses berfikirnya, dapat menganut pola fikir
deduktif, maupun induktif.
3. Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori
konstruktivisme.
Berbeda dengan teori
sebelumnya, konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh langsung
oleh siswa berdasarkan pengalaman dan hasil interaksi dengan lingkungan
sekitar. Dalam proses pemelajarannya lebih ditekankan pada model belajar
kolaboratif. Dengan kata lain, siswa belajar dalam kelompok tidak seperti pada
pembelajaran konvensional, bahwa siswa belajar secara individu. Hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa seorang siswa tidak hanya belajar dari dirinya
sendiri, melainkan juga belajar dari yang lain. Dengan demikian, model
pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah model pembelajaran yang terpusat
pada masalah dan model belajar kolaboratif.
D. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBELAJARAN
1. Quantum Learning
Keberhasilan proses
belajar yang dialami oleh seseorang, tidak terlepas dari beberapa faktor yang
mempengaruhinya, baik yang berasal dari luar diri individu maupun yang berasal
dari dalam diri individu yang bersangkutan. Faktor yang berasal dari dalam diri
individu berupa: motivasi, partisipasi, konfirmasi, pengulangan, dan aplikasi.
Adapun yang berasal dari luar diri individu dapat berasal dari bahan ajar,
pengajar, ataupun lingkungan tempat dia belajar. Proses belajar yang terjadi
pada individu yang belajar, erat kaitannya dengan struktur otak yang
dimilikinya. Berdasarkan belahannya, otak manusia terdiri dari belahan otak
kanan dan belahan otak kiri. Otak kanan memiliki karakteristik dalam cara
berfikir logis, sekuensial, linier, dan rasional. Adapun otak kiri memiliki
karakteristik dalam berfikir yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik.
Agar dalam proses belajar terjadi keseimbangan, harus diupayakan kerja otak
kanan dan otak kiri seimbang.
Quantum learning menciptakan
konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Oleh
karena itu, belajar dalam konsep quantum learning adalah
memberdayakan seluruh potensi yang ada, sehingga proses belajar menjadi suatu
yang menyenangkan bukan sebagai sesuatu yang memberatkan. Quantum learning mengonsep
tentang "menata pentas: lingkungan belajar yang tepat." Penataan
lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap
positif merupakan aset penting untuk
belajar. Pesertadidik quantum dikondisikan ke dalam lingkungan
belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Target
penataannya ialah menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai.
Lingkungan makro ialah
"dunia yang luas". Peserta didik diminta untuk menciptakan
ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup pengaruh
dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang
diminatinya. "Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir
mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan semakin mudah Anda mempelajari
informasi baru". Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif dan
mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat
pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan pribadi.
Pola yang dikembangkan
tersebut, maka dalam setiap individu diharapkan muncul sikap tanggung jawab
terhadap diri, sehingga akan terus belajar dan berupaya menggali sesuatu yang
baru dan menggunakannya. Kemampuan dalam menyerap informasi selanjutnya dikenal
dengan istilah modalitas belajar. Adapun kemampuan dalam mengatur dan mengolah
informasi dikenal dengan istilah dominasi otak.
DePorter (2002)
mengelompokkan modalitas seseorang menjadi tiga kelompok yaitu visual,
auditorial, dan kinestesik. Dalam proses belajar modalitas tersebut dapat
dibantu dengan menggunakan suatu alat yang dinamakan media, yakni media
pembelajaran. Seseorang yang bertanggung jawab terhadap dirinya, akan
benar-benar menyadari terhadap modalitas, khususnya modalitas belajar yang
dimilikinya.
2. Quantum Teaching
Mengajar merupakan salah
satu tugas seseorang yang menyandang predikat sebagai pengajar. Ada empat
kemampuan yang perlu dimiliki seorang pengajar yaitu kemampuan dalam mendiagnosis tingkah laku siswa,
melaksanakan proses pembelajaran, menguasai bahan ajar, dan melakukan evaluasi
hasil belajar. Mengajar pada hakekatnya merujuk pada aktivitas yang
dilakukan oleh pengajar dalam rangka menciptkan proses belajar pada pembelajar.
Dengan demikian, mengajar merupakan upaya guru untuk menciptakan
kondisi-kondisi atau mengatur lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjadi
proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, termasuk dengan guru, alat
pelajaran dan lain sebagainya. Melalui proses interaksi tersebut, diharapkan
pada diri peserta didik terjadi proses yang dikenal dengan nama proses belajar.
Dalam konsep di atas,
tersirat bahwa peran pengajar adalah pemimpin dan fasilitator belajar. Dengan
demikian, mengajar bukan hanya menyampaikan bahan pelajaran, tetapi suatu
proses dalam upaya membelajarkan peserta pembelajar. Mengingat sasaran utama
dalam proses pembelajaran adalah terjadinya proses belajar, maka
komponen-komponen pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik peserta didik,
terutama modalitas yang dimilikinya.
Quantum teaching, merupakan konsep yang
dikembangkan tentang mengajar ini didasarkan pada asas utama, yaitu
"bawalah dunia mereka ke dunia kita dan bawalah dunia kita ke dunia
mereka". Selain itu, dikembangkan juga lima prinsip dasar, yaitu segalanya
berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman sebelum pemberian nama, akui setiap
usaha, dan jika layak dikerjakan layak juga dihargai (DePorter, 2002). Model
yang dikembangkan terdiri dari dua komponen yaitu konteks yang memiliki empat
aspek (suasana, landasan, lingkungan, dan rancangan) dan isi yang mencakup
presentasi. Kerangka rancangan belajarnya adalah tumbuhkan, alami, namai,
demonstrasikan, ulangi, dan rayakan (TANDUR).
E. SEJARAH SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN
Lawatan Sejarah adalah suatu kegiatan
perjalanan mengunjungi situs bersejarah (a trip to historical sites). Jika
mencermati uraian di muka, khususnya tentang pengembangan model pembelajaran
berbasis teori belajar yang berkembang, maka Lawatan Sejarah dapat dikembangkan
sebagai model pembelajaran sejarah baik dengan basis teori behavioristik,
koqnitif, maupun konstruktivistik. Tinggal bagaimana guru dan/atau murid
mengemasnya. Tentu saja, kalau kita mengikuti perkembangan baru. Terutama
paradigma baru yang dijadikan rujukan yang mendasari penyelenggaraan pendidikan
di Indonesia, yang dituangkan baik pada UU tentang Sisdiknas maupun Peraturan
Menteri tentang Standar Kompetensi dan Implementasinya, maka sangat jelaslah
bahwa paradigma pembelajaran kontruktivisme menjadi pilihan utamanya.
Mengamati perkembangan penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia, gejala diterimanya paradigma konstruktivisme dan tren
pembelajaran quantum sungguh menggembirakan. Hal ini terbukti dari mulai maraknya
kegiatan-kegiatan pendidikan baik formal (sekolah) maupun non formal
(pelatihan, workshop, atau bahkan seminar lokakarya) yang dikemas dalam
bentuk Edutainment. Kita sudah lama mengenal
istilah learning by doing, maka learning by experiencing adalah
ungkapan yang tepat untuk menggambarkan "Edutainment". Edutainment
yaitu sebuah konsep yang saat ini sedang dikembangkan oleh berbagai lembaga
pendidikan formal (sekolah) maupun non formal (lembaga-lembaga yang
menyelenggarakan pelatihan, workshop, atau seminar). Bahkan dinegara maju,
edutainment telah ditopang oleh teknologi yang maju, sehingga sebutannya
menjadi edutainment and technotainment. Progam ini diakui telah membuka sumber daya baru,
perkakas dan strategi untuk mengangkat capaian siswa ke tingkat yang lebih
tinggi (McKenzie, 2000).
Edutainment adalah akronim dari
"education and entertainment". Dapat diartikan sebagai progam
pendidikan atau pembelajaran yang dikemas dalam konsep hiburan sedemikian rupa,
sehingga tiap-tiap peserta hampir tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya
sendang diajak untuk belajar atau untuk memahami nilai-nilai (value), sehingga
kegiatan tersebut memiliki nuansa yang berbeda dibandingkan dengan pembelajaran
biasa. Edutainment dapat digunakan untuk mengemas model pembelajaran melalui
lawatan sejarah. Aplikasinya tergantung dari kebutuhan dan impact yang
diharapkan oleh peserta. Lawatan sejarah yang dikemas
dalam Edutainment akan menjadi lebih menarik bagi peserta.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Dari pembahasan
di atas, dapat di simpulkan bahwa model suatu pembelajaran yang di
terapkan pada satuan pendidikan sangat mempengaruhi hasil belajar siswa. Hal
ini dapat di lihat dari tingkat keberhasilan siswa dalam menempuh
evaluasi pembelajaran yang di berikan guru. Evaluasi pembelajaran mencakup
sejumlah teknik yang tidak bisa di abaikan oleh seorang guru atau dosen.
Evaluasi pembelajaran bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana
efisiensi proses pembelajaran yang di laksanakan dan efektifitas pencapaian
tujuan pembelajaran yang di tetapkan.
B. SARAN
Model
pembelajaran yang baik sangat di perlukan dalam proses kegiatan
belajar mengajar, hal ini demi tercapainya hasil yang maksimal, sesuai dengan
kurikulum yang di tetapkan. Semakin tepat model pembelajaran yang di terapkan,
semakin tinggi tingkat keberhasilan yang di capai.
DAFTAR PUSTAKA
Aliya, (2009). Model Pembelajaran Sejarah. [online].
Tersedia: http://blog.bukukita.com/user/ermawati/?postld=6387 [Nopember 2011]
Evaluasi Pembelajaran [online]. Tersedia: http://ktiptk.blogspirit.com/archive/2009/01/26/evaluasi-pembelajaran.html
[Nopember 2011]
0 komentar:
Posting Komentar