Kamis, 14 Juli 2016

Tagged Under:

Hubungan Etika Confucius dengan Etika Bisnis

By: Unknown On: 22.50
  • Share The Gag


  • Hubungan Etika Confucius dengan Etika Bisnis

    Confucius muncul pada abad ke 4-5 SM sebelum jaman industri dan pengetahuan ekonomi modern ada. Etika bisnis yang ada hari ini sebagian besar berorentasi ke Barat dengan kerangka kapitalis. Etika bisnis melalui teori etis yang umumnya diajarkan dan diteliti di bidang etika bisnis kontemporer seperti etika Aristoteles berasal dari jaman Aksial (begitu pula Confucius), mayoritas dari filsuf-filsuf moral besar yang ditampilkan dalam tulisan tulisan yang datang dari Barat.
    Etika bisnis khususnya di Cina didorong oleh beberapa faktor yakni warisan Etika Tradisional Cina (termasuk Etika Confucius), Filosofi Markisme, cerminan reformasi ekonomi dan pada  dekade terakhir ini saling dipengaruhi dan mempengaruhi etika bisnis dari luar negeri (Barat).
    Menurut Lu Xiaohe (1997:1509) “The emergence of business ethics in China is something like the emergence of Chinese culture. That means that at beginning it was not influenced by the studies  of business ethics abroad”. (Kemunculan etika bisnis di Cina adalah sesuatu yang mirip dengan munculnya budaya Cina. Artinya pada awalnya hal tersebut tidak dipengaruhi oleh studi atas etika bisnis diluar negeri).
    Menurut Lu Xiaohe Etika Bisnis China yang didalamnya dipengaruhi Etika Confucius telah muncul dan berkembang sebagai respon terhadap reformasi ekonomi yang terjadi dalam tiga tahap (1) 1979-1984; (2) 1984-1994; (3) 1994. Pada tahap terakhir itulah terjadi perpaduan Etika Bisnis China dengan Etika Bisnis Kontemporer Barat. Maka dapat disimpulkan berdirinya Etika Bisnis China  dan berkembang sendiri tanpa pengaruh dari lingkungan ekternal (Barat), tetapi belakangan ada semacam perkawinan anatara Etika Bisnis China dengan Etika Bisnis kontemporer.
    Sementara Etika Confucius yang dianggap Etika Lokal Cina telah menyatu membaur dan berkembang bersama-sama dengan Etika Bisnis kontemporer Barat. Hal ini bisa terjadi karena status ekonomi Cina dalam transaksi bisnis internasional tumbuh sangat cepat dan saling mempengaruhi etika bisnis kontemporer.
    Chan (2007:349) menekankan kegunaan dari Etika Confucius dalam mencapai pemahaman dan analisis  yang lebih kaya di bidang Etika Bisnis kontemporer. Etika Confucius menawarkan perspektif filosofis dan intelektual kedalam studi Etika Bisnis kontemporer.
    Oesman Arif (dalam dialog dengan penulis) mengatakan: ”Etika Confucius berdiri sendiri sebagai bagian dari filsafat nilai yang dibagi menjadi tiga, Logika, Etika dan Estetika. Sejak abad 16 oleh Wang Yang Ming,  Etika Confucius itu disamakan menjadi Etika Bisnis Confucius Kontemporer. Dia mengatakan negara akan kuat kalau memiliki banyak pengusaha, sebaliknya negara yang punya tentara banyak akan lemah karena rakyatnya miskin”.    
    Dari uraian di atas dapat disimpulkan Etika Confucius bukan bagian dari etika bisnis secara umum melainkan belakangan ini Etika Confucius memberikan corak kepada Etika bisnis kontemporer. Sebaliknya Etika Bisis Konteporer memperkaya Etika Bisnis Confucius. Sebagai contoh tentang Guanxi (Guanxi 
    关系), dorongan kapitalisme, prinsip prinsip timbal balik dan makna Kebajikan (Ren, Yi , Li , Zhi  dan Xin ). Wilayah-wilayah tersebut jauh dan lengkap. Sumber utama dari Confucius dalam Empat Buku Klasik (The Analects, TheGreat Learning dan The Doctrine of the Mean).

    Kontribusi Etika Bisnis Dalam Berbisnis
    Terdapat beberapa argumen yang menyatakan bahwa pada dasarnya di dalam menjalankan kegiatan bisnis diperlukan etika. Menurut Permadi dan Kuswahyono(2007:43) argumen tersebut sebagai berikut :
    1.     Bisnis tidak hanya bertujuan untuk profit melainkan perlu mempertimbangkan nilai-nilai manusiawi, kalau tidak akan mengorbankan hidup banyak orang, sehingga masyarakat pun berkepentingan agar bisnis dilaksanakan secara etis.
    2.     Bisnis dilakukan di antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, sehingga membutuhkan etika sebagai pedoman dan orientasi bagi keputusan, kegiatan dan tindak tanduk manusia dalam berhubungan (bisnis) satu dengan yang lainnya.
    3.     Bisnis sekarang ini dilakukan dalam persaingan yang sangat ketat sehingga orang bisnis yang bersaing tetap memperhatikan norma-norma etis pada iklim bisnis yang semakin profesional justeru akan menang.
    4.     Legalitas dan moralitas berkaitan, tetapi berbeda satu sama lain, karena suatu kegiatan yang diterima secara legal belum tentu dapat diterima secara etis.
    5.     Etika harus dibedakan dari ilmu empiris yang mendasarkan pada suatu gejala atau fakta yang berulang terus menerus dan terjadi dimana-mana akan melahirkan suatu hukum ilmiah yang berlaku universal.
    6.     Situasi khusus yang menyebabkan pengecualian terhadap etika tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bisnis tidak mengenal etika.
    7.     Aksi protes yang terjadi dimana-mana menunjukkan bahwa masih banyak orang atau kelompok masyarakat yang menghendaki agar bisnis dijalankan secara baik dan mengindahkan norma etika
    Hubungan Nilai-nilai, Budaya dan Kinerja
    Nilai-nilai sangatlah penting dalam pengambilan keputusan dan membawa implikasi terhadap perilaku manajer-pemilik serta pendekatan dalam mengatur organisasi. Nilai-nilai pribadi para manajer-pemilik mempengaruhi manajemen dan praktek bisnis yang mereka gunakan dalam mengoperasikan usaha-usaha mereka dan pada akhirnya mempengaruhi juga kinerja mereka (Thompson dan Strickland (1996) dalam Pushpakumari, 2009:2).
    Menurut Hofstede et.al. (1990) dalam Rawwas (2000:192) Values are a major dimension of culture. Values are ”basic convictions that people have regarding what is right and what is wrong. These values are learned from the culture in which the individual is reared, and they help direct the person’s behavior. Cultural values influence how people think and behave. (Nilai-nilai merupakan sebuah dimensi utama dari kebudayaan. Nilai-nilai adalah tuduhan dasar bahwa orang-orang telah menentukan apa yang benar dan salah. Nilai-nilai ini dipelajari dari budaya yang dihadapi individu, dan nilai-nilai ini membantu mengarahkan perilaku orang yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir dan bersikap).
    Kilby (1993) mencatat bahwa nilai sangatlah penting dalam memajukan pemahaman yang konstruktif akan perilaku manusia serta perubahaan yang pasti ada. Karenanya, akan terlihat sepertinya nilai-nilai pribadi memiliki maksud tertentu, tidak hanya terhadap keputusan untuk mengejar kewirausahaan, tetapi juga cara yang digunakan para manajer-pemilik untuk menjalankan usahanya (Gasse, 1977; Bird, 1989; Bryan, 1999). Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa nilai yang merupakan standar yang menuntun dan menentukan tindakaan seseorang akan mempengaruhi orang lain dalam bertindak. Apabila nilai-nilai itu dianut seseorang manajer maka akan mempengaruhi kebijaksanan dalam mengatur perusahaan yang tentunya akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Hal ini disebabkan pimpinan yang membawa nilai-nilai maupun budaya sangat berpengaruh dan berperan dalam menerapkan nilai-nilai untuk diterapkan dalam usahanya. Mengingat manajer memiliki peran (role), kegiatan dan skill. Pimpinan memiliki peran interpersonal roles, informational roles, decisional roles. Kegiatan mereka adalah Routine Communication, Traditional Management, Networking, dan Human Resource ManagementSkill bagi pemimpin adalah : (1) komunikasi verbal, (2) mengelola waktu dan stress, (3) mengelola pengambilan keputusan, (4) mengakui, menjelaskan, dan memecahkan permasalahan, (5) memotivasi dan mempengaruhi orang lain, (6) mendelegasikan wewenang, (7) menetapkan tujuan dan menjelaskan visi, (8) memiliki kesadaran diri, (9) membangun kerja tim, dan (10) mengelola konflik (Luthan, 2002 dalam Thoyib, 2005:65). 
    Hasil penelitian Pushpakumari di Jepang menyimpulkan nilai-nilai seperti kepercayaan, ambisi, tanggungjawab, kreatifitas, kesetiaan, energi kerja, tugas, kerja keras yang merupakan nilai pribadi-manejer pemilik perusahaan berpengaruh pada kinerja usaha dalam UKM manufaktur. Menurut Schein (1991) dalam Thoyib  (2005:66) budaya diciptakan oleh pemimpin-pemimpin, sementara pemimpin-pemimpin diciptakan oleh budaya. Berdasarkan pada perspektif teori, budaya itu muncul melalui tiga proses, yaitu (1) Socio Dynamic Theory, (2) Leadership theory; dan (3) Organizational Learning.
    Sejalan dengan pemikiran John W.Amstrong dan Keith Davis dalam Prawirosentono (1999:123) dikatakan budaya mempengaruhi tingkah laku seseorang yakni lingkungan yang menciptakan suasana kepercayaan iman, kebiasaan, pengetahuan dan prakek-prakteknya. Budaya yang mempengaruhi seseorang tercermin dari cara dia mengambil keputusan, rasa hormat kepada atasan, perlakuan terhadap wanita, tipe kepemimpinan yang diterima, dan lain-lain.
    Dari uraian di atas dapat disimpulkan budaya mempengaruhi nilai-nilai pribadi manajer atau pengusaha, sedangkan nilai-nilai pribadi pengusaha akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Atau nilai-nilai pribadi manajer perusahaan akan mempengaruhi budaya, dan budaya akan mempengaruhi kinerja perusahaan.
    Bucar and Hisrich (1999:3) dalam makalah yang berjudul “Ethics and Entrepreneurs: An InternasionalComparative Study“ mengatakan di negara-negara yang memiliki standar etika rendah, biaya untuk menjalankan usaha lebih tinggi. Begitu pula di negara-negara yang standar etika tinggi, biaya untuk menjalankan usaha lebih rendah.
    Doug Lennick dan Fred Kiel (2005) dalam It Pin (2006) menulis buku Moral Intelligence, beragumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal yang sama juga dikemukakan milliuner Jon M Hunstman (2005) dalam It Pin (2006) dikatakan kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Jadi ada hubungan yang jelas antara etika dengan kinerja perusahaan, artinya tindakan-tindakan etika lebih membawa keuntungan perusahaan dalam jangka panjang terutama mencapai kinerja perusahaan. Adanya hubungan sinergis antara etika dan laba dapat dilihat dari kondisi saat sekarang dengan kompetisi yang ketat. Reputasi yang baik merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Mereka yang menerapkan etika dalam bisnis akan menaikkan laba perusahaan. Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana Johnson & Johnson (J & J) menangani kasus Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh orang dinyatakan meninggal secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago, karena Tylenol mengandung racun sianida. Meskipun penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang bertanggungjawab. J & J bertindak secara etika dengan menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih lanjut.  J & J bekerjasama dengan polisi, FBI, dan FDA. Hasilnya membuktikan, keracunan itu disebabkan pihak lain yang sengaja memasukkan sianida ke dalam botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J & J dalam kasus itu lebih 100 juta dollar AS. Namun, kesigapan dan tanggung jawab  yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera kembali memimpin pasar (market leader) di Amerika Serikat.

    Etika Confucius
    Di Indonesia, Konfusius atau Confucius dikenal dengan istilah Khonghucu (Kong Fuzi 孔夫子). Sebagian orang menyebut Confusianisme (Confucianisme) adalah penerus Ji KauRu Jiao 儒教(agama kaum lemah lembut) yakni Agama Khonghucu sebagai tokoh sentralnya adalah Confucius (Khonghucu) itu sendiri. Confucius merupakan orang pertama dalam sejarah Cina yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi pendidikan. Confucius merupakan pemrakarsa dari berdirinya sekolah perorangan di Cina (Riana,2008:30). Anak-anak para penguasa serta kaum bangsawan Cina pada jaman dahulu telah lama memiliki guru-guru pribadi. Mereka memang direncanakan untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu di dalam istana. Jenis pengajaran yang diberikan kepada mereka adalah semacam pelatihan dalam teknik-teknik tertentu yang memungkinkan mereka menduduki jabatan-jabatan tertentu di istana. Tetapi bentuk pengajaran Confucius berbeda. Confucius tidak hanya memberikan pelatihan, melainkan hendak mendidik mereka dalam arti mengembangkan serta meningkatkan taraf pemikiran dan moralitas mereka. Confucius menawarkan pendidikan bagi pembentukan karakter manusia sebagai pengganti pendidikan untuk jabatan tertentu.
     Secara berangsur-angsur sejumlah orang tertarik kepadanya, dan kemudian menjadi muridnya, atau yang biasa disebut cantrik yang terkenal sejumlah 72 dan hampir 3.000 murid yang tercatat waktu itu. 
    Confucius telah membuka pintu pendidikan bagi semua orang. Di antara murid-muridnya  terdapat kaum bangsawan dan juga rakyat jelata yang sangat miskin. Semakin lama jumlah cantrik Confucius semakin banyak, sehingga membentuk sebuah kelompok cendekiawan (gentleman-scholars). Kelompok ini merupakan cikal bakal institusi kaum terpelajar Cina yang kelak memberikan pengaruh besar bagi sejarah dan masyarakat Cina. Sejumlah pendiri sekolah perorangan di masa-masa awal, skala pendirian sekolah Confucius adalah yang terbesar.  Kelompok cendekiawan inilah yang dinamakan dengan Ru ChiaRu Jia儒家 adalah nama yang diberikan kepada para pemikir Confucius yang berarti cendekiawan atau orang terpelajar (scholar). 
    Menurut Lasiyo (1992), Khonghucu (Confucius) mengarah pada dua istilah Ju Chiao 儒教 yaitu mengarah pada keagamaan, sedangkan yang lainnya disebut Ju Chia儒家 (tanpa o) yang mengarah pada suatu aliran filsafat. Baik filsafat maupun keagamaan telah menjadi satu yang disebut Confucius. 
    Gagasan dan pemikiran Confucius serta interprestasi cantrik–cantrik Confucius terhadap ajarannya yang terpadu menjadi satu pemikiran utuh inilah disebut sebagai Confucianisme (Thomson, 1999:148). Gagasan dan pemikiran Confucius dapat diketahui dengan secara paling baik dalam Lunyu 论语 (Lun Gie). Lunyu merupakan kumpulan ajaran-ajaran atau percakapan Confucius dengan cantrik-cantriknya yang terpisah pisah yang dihimpun oleh sejumlah cantriknya (Fung Yu-Lan,1990:49).
    Para pemikir utama Confucius yang mengembangkan Confucianisme setelah Confucius adalah Meng Zi 孟子atau Mensius atau Bingcu (371-289 SM) dan Xun Zi 荀子 (298-238 SM). Confucius adalah tokoh yang menyempurnakan kepercayaan dan tradisi yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya. Dari Raja Fuxi 伏羲sampai sekarang hampir 5000 tahun yang lalu, sedangkan Confucius sekitar 2.563 tahun yang lalu. Sejarah yang panjang itu menjadikan budaya dan etika Ji-kau 儒教 (Confucius) melekat pada orang-orang Tionghoa sepanjang sejarah. Ajaran Confucius juga meringkas dari beberapa tokoh terdahulu hampir 2.500 tahun sebelum Confucius sehingga berkembang hingga kini hampir 5.000 tahun.  Dalam hal ini Confucius berkata  “Aku bukanlah pencipta melainkan aku menyukai ajaran-ajaran kuno tersebut“ (Kitab Lun Gi / Lunyu 论语 VII:1). Artinya Confucius adalah penegak dan pelengkap sekaligus menggenapi ajaran kuno itu sebagai etika moral dan agama yang melekat pada etnis Tionghoa yang masih menerapkan ajarannya. 
    Selain itu Confucius adalah suatu ajaran filsafat dan etika moral, juga suatu agama yang didalamnya terdapat ritual yang harus dilakukan oleh pengikutnya (Nugroho, 2008:13). Secara agama atau kepercayaan dan etika moral,  ajaran Confucius mendorong pengikutnya  untuk mencapai kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan hidup secara harmonis melalui persembahan kepada Tian  (Tuhan YME). Sebagai agama, Confucius mengajarkan suatu kepercayaan dan keyakinan pada pengikutnya bahwa seorang yang bijak itu pasti mendapat berkah: rejeki dan kesuksesan seperti yang dikatakan Confucius “Maka seorang yang berkebajikan besar niscaya mendapat berkah, kedudukan, nama dan panjang umur“ (Kitab Zhong Yong 中庸 XVI:2).  Kepada yang berbuat baik akan diturunkan beratus berkah, kepada yang berbuat tidak baik akan diturunkan beratus kesengsaraan (Kitab Shu Jing 书经 IV.IV.8). Keyakinan akan perbuatan kebajikan tersebut yang pada akhirnya membawa berkat, rejeki, kesuksesan dan panjang umur yang menyebabkan orang Tionghoa bekerja keras berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan. Bagi orang Tionghoa hanya berbisnis berdasarkan kebajikan, maka Tuhan akan meridhoinya. Hal ini sesuai dengan ajaran Confucius yang mengatakan “Wi Tik Thong Thian / Wei De Dong Tian“   (Hanya dengan Kebajikan saja Tuhan akan berkenan).
    Ajaran Confucius dalam konteks rasional tersebut sebenarnya menjelaskan tentang hubungan antara etika dengan kesuksesan (kebajikan dan berkah) seperti tesis Max Weber yang sebenarnya membahas antara hubungan  motif dengan tindakan (Abdullah, 1988:17). Ajaran tersebut menjadikan orang Tionghoa tidak berani tidak berbuat Kebajikan karena diyakini akan menjadikan kemakmuran dan kesuksesan dalam hidupnya. Sebaliknya mereka akan takut berbuat yang menentang etika moral (tidak bajik) dikarenakan takut akan kesengsaraan. Untuk itulah orang-orang Tionghoa berusaha bekerja keras sesuai dengan jalan Tuhan (kebajikan) untuk mencapai kesuksesan yang benar. Dalam hal ini mereka menerapkan konsep Yi  menuju Li’  (konsep kebenaran dalam mencapai keuntungan).
    Dari ajaran Confucius itu kemudian berkembang dan  istilah-istilah seperti rejeki, keberuntungan (hokkie  ), dan kemakmuran menjadi tujuan hidup utama orang-orang Tionghoa. Semua praktek tradisi ditujukan untuk mengejar hokkie. Dalam hal ini terletak pentingnya ciamsi (konsultasi nasif), gwamia (ramalan), shio (horoskop), dan hongsui/ fengsui 风水 (tata letak bangunan) yang berhubungan dengan hawa (chi ).  Banyak pula istilah-istilah seperti cengli 正理 (masuk akal), Cinjay (tidak terlalu hitungan) dan Cuan (keuntungan). Istilah tersebut menjadi umum dan selalu dibicarakan ketika berhubungan bisnis dengan orang  Tionghoa. Secara umum pergaulan  orang Tionghoa dalam bisnis selalu harus Cingcay dan Cengli 正理 dan jangan sampai Ciak (tidak membayar hutang) akhirnya Cao (berlari). Istilah-istilah tersebut kalau dikaji  tidak jauh dari ajaran Confucius. 
    Pokok ajaran Confucius adalah manusia dilahirkan didunia ini memiliki kebajikan-kebajikan yang diberikan Tuhan berupa Ren (Cinta Kasih), Zhi (Keijaksanaan)  dan Yong (Keberanian) yang disebut dengan Tri Pusaka. (Kitab Tiong Yong 中庸BAB XIX:8). 
    Menurut Xs.Tjhie Tjay Ing (2006:4) Ren
    (cinta kasih) sebagai landasan dan sandaran bagi motif perbuatan dalam segala aspek kehidupan yang wajib dilakukan semua umat manusia. Apabila hal tersebut diterapkan dalam dunia bisnis harus dilandasi nilai-nilai cinta kasih. Apabila bisnis yang tidak dilandasi nilai Ren akan mengalami suatu kemunduran.
    Dengan Zhi (arti: pengetahuan; Mandarin: ) manusia mampu menangani dan memecahkan segala persoalan secara tepat dan harmonis. Bila dikaitkan dengan dunia bisnis, maka akan menjadikan seorang wirausaha bijak dan tepat sasaran dalam mengambil segala keputusan manajemen. Dengan Yong (arti: keberanian; Mandarin: ), manusia mendapat semangat dan ketahanan dalam menghadapi tantangan atau meraih cita-cita. Semangat tanpa putus asa dengan keberaniannya akan mendorong jiwa-jiwa berwirausaha. Selanjutnya oleh Meng-zi (Bingcu), pengikut Confucius, Kebajikan itu dikembangkan dan bertambah satu kebajikan Li (arti: aturan-aturan kesusilaan dan tata krama; Mandarin: 禮,)  (Kitab Bingcu VIIA,22:4). Dengan Li (aturan-aturan susila dan tata krama), akan menjadikan seorang Wirausahawan bersopan santun, bertata krama dalam menerapkan bisnisnya.
    Selanjutnya dikembangkan oleh Tung Zhong Shu (179-104) dengan menambahkan Xin (arti: kepercayaan; Mandarin:
    ). Dengan Xin (Kepercayaan) akan mempercepat proses transaksi dan pengiriman barang dan sekaligus menghemat biaya dan pada akhirnya berpengaruh pada kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. 
    Pada prakteknya, nilai-nilai Confucius ini berkembang dari waktu ke waktu. Abad XXI kebajikan jumlahnya menjadi enam yakni Ren (cinta kasih, ), Yi (nilai-nilai kebenaran, /), Li (aturan-aturan susila dan tata krama, /), Zhi (pengetahuan, ), Xin (kepercayaan, ). Bahkan di Jepang ajaran Confucius berkembang menjadi etika kerja Bushido sebagai kunci sukses bangsa Jepang, terdiri dari tujuh prinsip, yaitu: Yi (/, nilai-nilai kebenaran), Li (aturan-aturan susila dan tata krama, /),Yong (keberanian, ), Ren (cinta kasih, ), Xin(kepercayaan, ), Yu (reputasi, ), dan Zhong (kesetiaan, ) (Maria, 2010:16).

     
    Description: http://www.spocjournal.com/images/content/disertasi/etika_confucius.jpg
                             
    Kebajikan-kebajikan tersebut merupakan inti ajaran Confucius yang dibahas secara filosofi dan dibicarakan dengan murid-muridnya.  Dengan Kebajikan-kebajikan tersebut manusia wajib mengembangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan dalam dunia bisnis. Kebajikan itu bisa dilakukan manusia karena memang manusiawi melalui belajar dan dilatih. Hanya dengan belajarlah manusia bisa menjadi Junzi 君子 (manusia ideal pandangan Confucius) yang tentu saja memiliki kemampuan manajerial dan sikap moral yang memadai.
    Chun Tzu (Mandarin: ; pinyin: Junzi君子) adalah orang yang agung dan dalam bahasa Inggris disebut (gentlemen), seorang dapat menjadi pimpinan bukan karena keturunan tetapi karena keagungan watak dan tingkah laku yang baik. Menurut Confucius, setiap manusia berpotensi menjadi Junzi (Chun Tzu). Beberapa pengertian Junzi (Mandarin: ) menurut Confucius : Chun Tzu (Junzi) adalah seorang pemberani yang dapat menyelaraskan berbagai macam hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas moral kepribadiannya (Dawson, 1981:54). 
    Adapun sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang Junzi adalah : (1) setia dan selalu berbuat baik serta berusaha untuk mawas diri, (2) mencintai sesuatu yang benar dan tidak mementingkan dirinya sendiri, (3). mengutamakan masalah moral (Dawson, 1981:55).
    Seorang Junzi selalu berusaha hidup dan bekerjasama dengan masyarakat di mana pun ia berada, agar ia mempunyai jiwa sosial yang tinggi mau beramal apa saja demi kepentingan masyarakat bangsa dan negaranya. Confucius dalam membahas masalah Junzi lebih banyak bicara tentang masalah moral, karena moral merupakan dasar dari keberhasilan pembangunan suatu bangsa, tanpa landasan pada moral suatu bangsa akan segera mengalami keruntuhan.
    Etika Confucius adalah nilai-nilai, aturan, moral  yang bersumber pada ajaran Confucius sendiri yang mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat khususnya masyarakat Tionghoa.  Umumnya Etika  Confucius diajarkan secara lisan secara  turun temurun dari orang tuanya dan ini berjalan berabad-abad lamanya sehingga terbentuk masyarakat Confucius tradisional. Karakteristik masyarakat Confucius tradisional biasanya menjalankan tradisi tanpa adanya tata laksana agama yang benar. Namun ada kalanya Etika Confucius didapat dari kitab-kitab Confucius yang dibawa oleh para pendatang  (saudagar) ke Indonesia dan sebagian kaum cendekia dan mengembangkan di Indonesia. Mereka akhirnya membentuk wadah Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)  dan mengangkat  penebar, guru dan pendeta (Js=Jiaosheng 
    教生 sebagai  penyebar agama, Ws=Wenshi   sebagai guru agama dan Xs=Xueshi sebagai pendeta) dan mengajarkannya lewat upacara-upacara  maupun kebaktian di Li Thang (Litang 礼堂Tempat Ibadah umat Confucius). 
    Sementara  Etos Confucius bersumber pada Kitab Suci Agama Konghucu (Confucius) yang terdiri dari dua kelompok, yaitu: Wu Jing  (Kitab Suci Yang Lima) dan Si Shu (Kitab Suci Yang Keempat) serta Xiao Jing  (Kitab Bakti). Kitab Wu Jing terdiri dari :
    1.     Shi Jing (诗经 Kitab Sanjak)
    2.     Shu Jing (书经 Kitab Dokumen Sejarah Suci)
    3.     Yi Jing ( Kitab Kejadian dengan Segala Perubahan dan Peristiwa)
    4.     Chun qiu Jing (春秋 Kitab Sejarah Jaman Chun Qiu)
    5.     Yue Jing (乐经 Kitab Musik)
    Kitab Si Shu  terdiri dari :
    1.     Da Xue (大学 Kitab Ajaran Besar)
    2.     Zhong Yong (中庸 Kitab Tengah Sempurna)
    3.     Lun Yu/ Lun Gie (论语 Kitab Sabda Suci)
    4.     Meng Zi (孟子 Mencius) (Lin Khung Sen,2010:31)
    Kitab-kitab tersebut sebagai sumber ajaran Confucius dan digunakan sebagai dasar dalam bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi yang dimaksud dengan Etika Confucius itu menyangkut keseluruhan  ajaran Confucius  yang dihimpun  dari Nabi Fuxi 伏羲 dan Hok Hi (2.953-2.838 SM), lalu Yu Agung  atau I Agung (2.205 – 1.766 SM),  Wenwang ( ) dan akhirnya Confucius (Khonghucu)  sampai dengan Rosul Bingcu (Meng Zi).
    Chong (1996:9) mengatakan etika Confucius yang dikenal sekarang tidak hanya ditemukan oleh satu orang saja tetapi merupakan hasil perkembangan lebih 2.500 tahun yang lalu sampai sekarang.
    Etos Confucius atau etika Confucius (Confucian Ethic) menurut Lin Yu Tang (1936) dalam Chong (1996: 9) dalam bukunya “My Country and My People“  adalah upaya manusia memperoleh kebajikan di dalam (inner Sageliness) dan berpenampilan sebagai Raja (outer kingliness). Artinya nilai-nilai Confucius dipelajari ke dalam (Inner Sageliness) sebagai moral kebajikan sedangkan keluar merupakan wujud perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan tersebut dipertegas oleh  Indarto bahwa  Etika  Confucius disebut juga dengan “Nei-sheng Wai-wang“ 内圣 外王 yang mencakup pendidikan moral atau budi pekerti untuk membina diri ke dalam seperti Nabi dan keluar memimpin dunia menjadi manajer yang tangguh (Indarto, 2010:32).
    Etika Confucius mengandung nilai-nilai seperti toleransi pada sesama manusia, baik antar kawan, atasan bawahan, antar sesama saudara; berlaku bakti kepada orang tua serta saudara yang lebih tua; kesetiaan dan dapat dipercaya kepada negara bangsa, hormat kepada lebih tua dan kasih sayang kepada anak dan saudara yang lebih muda.
    Pada prinsipnya etika Confucius mengajarkan akan pentingnya pembinaan diri (self cultivation) serta nilai-nilai moral, baik kepada diri pribadi, keluarga, masyarakat dan negara bahkan dunia. Menurut Po (2009:464) Etika Confucius terdiri dari Ren , Yi, Li disamping Zhi dan Xin  yang merupakan komponen penting dalam sistem moral yang membentuk  manusia Junzi.  Junzi melambangkan berbudi luhur, siap dan mampu melakukan tindakan bajik tanpa henti secara konsisten selama hidupnya, terutama kaum intelektual dan elit penguasa. Bahkan semua orang didesak untuk menjadi Junzi dalam pikiran dan perbuatan dan terus mengejar kehidupan yang dicontohkan Junzi. Ciri khas Junzi 君子 dalam analects Confucius (Lun Gi论语) adalah bertindak benar, tekun dalam tindakan, bertindak sebelum bicara, kehati-hatian dalam ucapan, tindakan menyelaraskan kata-kata, menunjukkan bakti kepada orang tua, menampilkan menghormati untuk saudara-saudara, bergaul dengan orang yang memegang prinsip moral, suka belajar, mencintai orang lain, bersopan santun dan tahu aturan, berbuat baik kepada orang lain, akomodatif, berwibawa tapi tidak sombong, berani, tabah, memiliki motivasi, berpikiran adil dan ZhongShu 忠恕 (Tiong Si). Zhong Shu ini disebut Golden Rule dimana “Jangan lakukan pada orang lain apa yang Anda tidak ingin orang lain lakukan untuk Anda.“    
    Lee T.Oei dalam Ongky (1996) memberikan ciri-ciri seorang Junzi diantaranya orang yang bertujuan, berusaha sungguh-sungguh, menyeluruh, tulus hati, jujur, murni dalam pikiran dan tindakan, cinta akan kebenaran, adil dan tidak miskin, berkebajikan, bijaksana, longgar hati, tabah hati, berwibawa, teguh, rukun, tidak menjilat, berkembang keatas, berkemampuan, bersifat terbuka, baik hati, berpandangan luas, bercinta kasih, tenggang diri, tepo saliro, dan bertenaga dalam.

    Sumber dari : disertasi Js. Drs. Ongky Setio Kuncono, MM, MBA, Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang  Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya.


    0 komentar:

    Posting Komentar