Hubungan
Etika Confucius dengan Etika Bisnis
Confucius muncul pada abad ke 4-5 SM sebelum jaman industri
dan pengetahuan ekonomi modern ada. Etika bisnis yang ada hari ini sebagian
besar berorentasi ke Barat dengan kerangka kapitalis. Etika bisnis melalui
teori etis yang umumnya diajarkan dan diteliti di bidang etika bisnis
kontemporer seperti etika Aristoteles berasal dari jaman Aksial (begitu pula
Confucius), mayoritas dari filsuf-filsuf moral besar yang ditampilkan dalam
tulisan tulisan yang datang dari Barat.
Etika bisnis khususnya di Cina
didorong oleh beberapa faktor yakni warisan Etika Tradisional Cina (termasuk
Etika Confucius), Filosofi Markisme, cerminan reformasi ekonomi dan pada
dekade terakhir ini saling dipengaruhi dan mempengaruhi etika bisnis dari luar
negeri (Barat).
Menurut Lu Xiaohe (1997:1509) “The emergence of business ethics in China is something like the emergence of Chinese culture. That means that at beginning it was not influenced by the studies of business ethics abroad”. (Kemunculan etika bisnis di Cina adalah sesuatu yang mirip dengan munculnya budaya Cina. Artinya pada awalnya hal tersebut tidak dipengaruhi oleh studi atas etika bisnis diluar negeri).
Menurut Lu Xiaohe (1997:1509) “The emergence of business ethics in China is something like the emergence of Chinese culture. That means that at beginning it was not influenced by the studies of business ethics abroad”. (Kemunculan etika bisnis di Cina adalah sesuatu yang mirip dengan munculnya budaya Cina. Artinya pada awalnya hal tersebut tidak dipengaruhi oleh studi atas etika bisnis diluar negeri).
Menurut Lu Xiaohe Etika Bisnis China yang didalamnya
dipengaruhi Etika Confucius telah muncul dan berkembang sebagai respon terhadap
reformasi ekonomi yang terjadi dalam tiga tahap (1) 1979-1984; (2) 1984-1994;
(3) 1994. Pada tahap terakhir itulah terjadi perpaduan Etika Bisnis China
dengan Etika Bisnis Kontemporer Barat. Maka dapat disimpulkan berdirinya Etika
Bisnis China dan berkembang sendiri tanpa pengaruh dari lingkungan
ekternal (Barat), tetapi belakangan ada semacam perkawinan anatara Etika Bisnis
China dengan Etika Bisnis kontemporer.
Sementara Etika Confucius yang dianggap Etika Lokal Cina
telah menyatu membaur dan berkembang bersama-sama dengan Etika Bisnis
kontemporer Barat. Hal ini bisa terjadi karena status ekonomi Cina dalam
transaksi bisnis internasional tumbuh sangat cepat dan saling mempengaruhi
etika bisnis kontemporer.
Chan (2007:349) menekankan kegunaan dari Etika Confucius dalam mencapai pemahaman dan analisis yang lebih kaya di bidang Etika Bisnis kontemporer. Etika Confucius menawarkan perspektif filosofis dan intelektual kedalam studi Etika Bisnis kontemporer.
Chan (2007:349) menekankan kegunaan dari Etika Confucius dalam mencapai pemahaman dan analisis yang lebih kaya di bidang Etika Bisnis kontemporer. Etika Confucius menawarkan perspektif filosofis dan intelektual kedalam studi Etika Bisnis kontemporer.
Oesman Arif (dalam dialog dengan
penulis) mengatakan: ”Etika Confucius berdiri sendiri sebagai bagian dari
filsafat nilai yang dibagi menjadi tiga, Logika, Etika dan Estetika. Sejak abad
16 oleh Wang Yang Ming, Etika Confucius itu disamakan menjadi Etika
Bisnis Confucius Kontemporer. Dia mengatakan negara akan kuat kalau memiliki
banyak pengusaha, sebaliknya negara yang punya tentara banyak akan lemah karena
rakyatnya miskin”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan Etika Confucius bukan bagian dari etika bisnis secara umum melainkan belakangan ini Etika Confucius memberikan corak kepada Etika bisnis kontemporer. Sebaliknya Etika Bisis Konteporer memperkaya Etika Bisnis Confucius. Sebagai contoh tentang Guanxi (Guanxi 关系), dorongan kapitalisme, prinsip prinsip timbal balik dan makna Kebajikan (Ren仁, Yi 义, Li 礼, Zhi 智 dan Xin 信). Wilayah-wilayah tersebut jauh dan lengkap. Sumber utama dari Confucius dalam Empat Buku Klasik (The Analects, TheGreat Learning dan The Doctrine of the Mean).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan Etika Confucius bukan bagian dari etika bisnis secara umum melainkan belakangan ini Etika Confucius memberikan corak kepada Etika bisnis kontemporer. Sebaliknya Etika Bisis Konteporer memperkaya Etika Bisnis Confucius. Sebagai contoh tentang Guanxi (Guanxi 关系), dorongan kapitalisme, prinsip prinsip timbal balik dan makna Kebajikan (Ren仁, Yi 义, Li 礼, Zhi 智 dan Xin 信). Wilayah-wilayah tersebut jauh dan lengkap. Sumber utama dari Confucius dalam Empat Buku Klasik (The Analects, TheGreat Learning dan The Doctrine of the Mean).
Kontribusi Etika Bisnis Dalam
Berbisnis
Terdapat beberapa argumen yang menyatakan bahwa pada
dasarnya di dalam menjalankan kegiatan bisnis diperlukan etika. Menurut Permadi
dan Kuswahyono(2007:43) argumen tersebut sebagai berikut :
1.
Bisnis tidak hanya bertujuan untuk
profit melainkan perlu mempertimbangkan nilai-nilai manusiawi, kalau tidak akan
mengorbankan hidup banyak orang, sehingga masyarakat pun berkepentingan agar
bisnis dilaksanakan secara etis.
2.
Bisnis dilakukan di antara manusia
yang satu dengan manusia yang lainnya, sehingga membutuhkan etika sebagai
pedoman dan orientasi bagi keputusan, kegiatan dan tindak tanduk manusia dalam
berhubungan (bisnis) satu dengan yang lainnya.
3.
Bisnis sekarang ini dilakukan dalam
persaingan yang sangat ketat sehingga orang bisnis yang bersaing tetap
memperhatikan norma-norma etis pada iklim bisnis yang semakin profesional
justeru akan menang.
4.
Legalitas dan moralitas berkaitan,
tetapi berbeda satu sama lain, karena suatu kegiatan yang diterima secara legal
belum tentu dapat diterima secara etis.
5.
Etika harus dibedakan dari ilmu
empiris yang mendasarkan pada suatu gejala atau fakta yang berulang terus
menerus dan terjadi dimana-mana akan melahirkan suatu hukum ilmiah yang berlaku
universal.
6.
Situasi khusus yang menyebabkan
pengecualian terhadap etika tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bisnis
tidak mengenal etika.
7.
Aksi protes yang terjadi dimana-mana
menunjukkan bahwa masih banyak orang atau kelompok masyarakat yang menghendaki
agar bisnis dijalankan secara baik dan mengindahkan norma etika
Hubungan Nilai-nilai, Budaya
dan Kinerja
Nilai-nilai sangatlah penting dalam pengambilan keputusan
dan membawa implikasi terhadap perilaku manajer-pemilik serta pendekatan dalam
mengatur organisasi. Nilai-nilai pribadi para manajer-pemilik mempengaruhi
manajemen dan praktek bisnis yang mereka gunakan dalam mengoperasikan
usaha-usaha mereka dan pada akhirnya mempengaruhi juga kinerja mereka (Thompson
dan Strickland (1996) dalam Pushpakumari, 2009:2).
Menurut Hofstede et.al. (1990) dalam
Rawwas (2000:192) Values are a major dimension of culture.
Values are ”basic convictions that people have regarding what is right and what
is wrong. These values are learned from the culture in which the individual is
reared, and they help direct the person’s behavior. Cultural values influence how people think and behave. (Nilai-nilai
merupakan sebuah dimensi utama dari kebudayaan. Nilai-nilai adalah tuduhan
dasar bahwa orang-orang telah menentukan apa yang benar dan salah. Nilai-nilai
ini dipelajari dari budaya yang dihadapi individu, dan nilai-nilai ini membantu
mengarahkan perilaku orang yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya mempengaruhi
bagaimana seseorang berpikir dan bersikap).
Kilby (1993) mencatat bahwa nilai
sangatlah penting dalam memajukan pemahaman yang konstruktif akan perilaku
manusia serta perubahaan yang pasti ada. Karenanya, akan terlihat sepertinya
nilai-nilai pribadi memiliki maksud tertentu, tidak hanya terhadap keputusan
untuk mengejar kewirausahaan, tetapi juga cara yang digunakan para
manajer-pemilik untuk menjalankan usahanya (Gasse, 1977; Bird, 1989; Bryan,
1999). Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa nilai yang merupakan standar yang
menuntun dan menentukan tindakaan seseorang akan mempengaruhi orang lain dalam
bertindak. Apabila nilai-nilai itu dianut seseorang manajer maka akan
mempengaruhi kebijaksanan dalam mengatur perusahaan yang tentunya akan mempengaruhi
kinerja perusahaan. Hal ini disebabkan pimpinan yang membawa nilai-nilai maupun
budaya sangat berpengaruh dan berperan dalam menerapkan nilai-nilai untuk
diterapkan dalam usahanya. Mengingat manajer memiliki peran (role), kegiatan dan skill. Pimpinan memiliki
peran interpersonal roles, informational roles, decisional roles.
Kegiatan mereka adalah Routine Communication,
Traditional Management, Networking, dan Human Resource Management. Skill bagi pemimpin adalah : (1) komunikasi
verbal, (2) mengelola waktu dan stress, (3) mengelola pengambilan keputusan,
(4) mengakui, menjelaskan, dan memecahkan permasalahan, (5) memotivasi dan
mempengaruhi orang lain, (6) mendelegasikan wewenang, (7) menetapkan tujuan dan
menjelaskan visi, (8) memiliki kesadaran diri, (9) membangun kerja tim, dan
(10) mengelola konflik (Luthan, 2002 dalam Thoyib, 2005:65).
Hasil penelitian Pushpakumari di
Jepang menyimpulkan nilai-nilai seperti kepercayaan, ambisi, tanggungjawab,
kreatifitas, kesetiaan, energi kerja, tugas, kerja keras yang merupakan nilai
pribadi-manejer pemilik perusahaan berpengaruh pada kinerja usaha dalam UKM
manufaktur. Menurut Schein (1991) dalam Thoyib (2005:66) budaya
diciptakan oleh pemimpin-pemimpin, sementara pemimpin-pemimpin diciptakan oleh
budaya. Berdasarkan pada perspektif teori, budaya itu muncul melalui tiga
proses, yaitu (1) Socio Dynamic Theory, (2) Leadership theory; dan (3) Organizational Learning.
Sejalan dengan pemikiran John W.Amstrong dan Keith Davis dalam Prawirosentono (1999:123) dikatakan budaya mempengaruhi tingkah laku seseorang yakni lingkungan yang menciptakan suasana kepercayaan iman, kebiasaan, pengetahuan dan prakek-prakteknya. Budaya yang mempengaruhi seseorang tercermin dari cara dia mengambil keputusan, rasa hormat kepada atasan, perlakuan terhadap wanita, tipe kepemimpinan yang diterima, dan lain-lain.
Sejalan dengan pemikiran John W.Amstrong dan Keith Davis dalam Prawirosentono (1999:123) dikatakan budaya mempengaruhi tingkah laku seseorang yakni lingkungan yang menciptakan suasana kepercayaan iman, kebiasaan, pengetahuan dan prakek-prakteknya. Budaya yang mempengaruhi seseorang tercermin dari cara dia mengambil keputusan, rasa hormat kepada atasan, perlakuan terhadap wanita, tipe kepemimpinan yang diterima, dan lain-lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan budaya mempengaruhi
nilai-nilai pribadi manajer atau pengusaha, sedangkan nilai-nilai pribadi
pengusaha akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Atau nilai-nilai pribadi
manajer perusahaan akan mempengaruhi budaya, dan budaya akan mempengaruhi
kinerja perusahaan.
Bucar and Hisrich (1999:3) dalam
makalah yang berjudul “Ethics and Entrepreneurs: An
InternasionalComparative Study“ mengatakan di negara-negara yang
memiliki standar etika rendah, biaya untuk menjalankan usaha lebih tinggi.
Begitu pula di negara-negara yang standar etika tinggi, biaya untuk menjalankan
usaha lebih rendah.
Doug Lennick dan Fred Kiel (2005)
dalam It Pin (2006) menulis buku Moral Intelligence,
beragumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan
standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang.
Hal yang sama juga dikemukakan milliuner Jon M Hunstman (2005) dalam It Pin
(2006) dikatakan kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha
yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Jadi ada hubungan
yang jelas antara etika dengan kinerja perusahaan, artinya tindakan-tindakan
etika lebih membawa keuntungan perusahaan dalam jangka panjang terutama
mencapai kinerja perusahaan. Adanya hubungan sinergis antara etika dan laba
dapat dilihat dari kondisi saat sekarang dengan kompetisi yang ketat. Reputasi
yang baik merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Mereka yang
menerapkan etika dalam bisnis akan menaikkan laba perusahaan. Salah satu kasus
yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana Johnson & Johnson (J & J)
menangani kasus Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh orang dinyatakan meninggal
secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago, karena Tylenol
mengandung racun sianida. Meskipun penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui
pihak yang bertanggungjawab. J & J bertindak secara etika dengan menarik 31
juta botol Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti
mengonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih lanjut. J & J
bekerjasama dengan polisi, FBI, dan FDA. Hasilnya membuktikan, keracunan itu
disebabkan pihak lain yang sengaja memasukkan sianida ke dalam botol-botol Tylenol.
Biaya yang dikeluarkan J & J dalam kasus itu lebih 100 juta dollar AS.
Namun, kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu
berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu
kasus itu diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup
lebih aman dan produk itu segera kembali memimpin pasar (market leader) di Amerika Serikat.
Etika Confucius
Di Indonesia, Konfusius atau
Confucius dikenal dengan istilah Khonghucu (Kong Fuzi 孔夫子). Sebagian orang menyebut Confusianisme (Confucianisme)
adalah penerus Ji Kau/ Ru Jiao 儒教(agama kaum lemah lembut) yakni Agama Khonghucu sebagai
tokoh sentralnya adalah Confucius (Khonghucu) itu sendiri. Confucius merupakan
orang pertama dalam sejarah Cina yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi
pendidikan. Confucius merupakan pemrakarsa dari berdirinya sekolah perorangan
di Cina (Riana,2008:30). Anak-anak para penguasa serta kaum bangsawan Cina pada
jaman dahulu telah lama memiliki guru-guru pribadi. Mereka memang direncanakan
untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu di dalam istana. Jenis pengajaran yang
diberikan kepada mereka adalah semacam pelatihan dalam teknik-teknik tertentu
yang memungkinkan mereka menduduki jabatan-jabatan tertentu di istana. Tetapi
bentuk pengajaran Confucius berbeda. Confucius tidak hanya memberikan
pelatihan, melainkan hendak mendidik mereka dalam arti mengembangkan serta
meningkatkan taraf pemikiran dan moralitas mereka. Confucius menawarkan
pendidikan bagi pembentukan karakter manusia sebagai pengganti pendidikan untuk
jabatan tertentu.
Secara berangsur-angsur sejumlah orang tertarik kepadanya, dan kemudian menjadi muridnya, atau yang biasa disebut cantrik yang terkenal sejumlah 72 dan hampir 3.000 murid yang tercatat waktu itu.
Secara berangsur-angsur sejumlah orang tertarik kepadanya, dan kemudian menjadi muridnya, atau yang biasa disebut cantrik yang terkenal sejumlah 72 dan hampir 3.000 murid yang tercatat waktu itu.
Confucius telah membuka pintu
pendidikan bagi semua orang. Di antara murid-muridnya terdapat kaum
bangsawan dan juga rakyat jelata yang sangat miskin. Semakin lama jumlah
cantrik Confucius semakin banyak, sehingga membentuk sebuah kelompok
cendekiawan (gentleman-scholars). Kelompok ini merupakan cikal bakal
institusi kaum terpelajar Cina yang kelak memberikan pengaruh besar bagi
sejarah dan masyarakat Cina. Sejumlah pendiri sekolah perorangan di masa-masa
awal, skala pendirian sekolah Confucius adalah yang terbesar. Kelompok
cendekiawan inilah yang dinamakan dengan Ru Chia. Ru Jia儒家 adalah nama yang diberikan kepada para pemikir
Confucius yang berarti cendekiawan atau orang terpelajar (scholar).
Menurut Lasiyo (1992), Khonghucu
(Confucius) mengarah pada dua istilah Ju Chiao 儒教 yaitu mengarah pada keagamaan,
sedangkan yang lainnya disebut Ju Chia儒家 (tanpa o) yang mengarah pada suatu
aliran filsafat. Baik filsafat maupun keagamaan telah menjadi satu yang disebut
Confucius.
Gagasan dan pemikiran Confucius
serta interprestasi cantrik–cantrik Confucius terhadap ajarannya yang terpadu
menjadi satu pemikiran utuh inilah disebut sebagai Confucianisme (Thomson,
1999:148). Gagasan dan pemikiran Confucius dapat diketahui dengan secara paling
baik dalam Lunyu 论语 (Lun Gie). Lunyu merupakan kumpulan ajaran-ajaran atau
percakapan Confucius dengan cantrik-cantriknya yang terpisah pisah yang
dihimpun oleh sejumlah cantriknya (Fung Yu-Lan,1990:49).
Para pemikir utama Confucius yang
mengembangkan Confucianisme setelah Confucius adalah Meng Zi 孟子atau Mensius atau Bingcu (371-289 SM) dan Xun Zi 荀子 (298-238 SM). Confucius adalah tokoh yang
menyempurnakan kepercayaan dan tradisi yang sudah ada jauh sebelum
kelahirannya. Dari Raja Fuxi 伏羲sampai sekarang hampir 5000 tahun yang lalu, sedangkan
Confucius sekitar 2.563 tahun yang lalu. Sejarah yang panjang itu menjadikan
budaya dan etika Ji-kau 儒教 (Confucius) melekat pada orang-orang Tionghoa
sepanjang sejarah. Ajaran Confucius juga meringkas dari beberapa tokoh
terdahulu hampir 2.500 tahun sebelum Confucius sehingga berkembang hingga kini
hampir 5.000 tahun. Dalam hal ini Confucius berkata “Aku bukanlah
pencipta melainkan aku menyukai ajaran-ajaran kuno tersebut“ (Kitab Lun Gi /
Lunyu 论语 VII:1). Artinya Confucius
adalah penegak dan pelengkap sekaligus menggenapi ajaran kuno itu sebagai etika
moral dan agama yang melekat pada etnis Tionghoa yang masih menerapkan
ajarannya.
Selain itu Confucius adalah suatu
ajaran filsafat dan etika moral, juga suatu agama yang didalamnya terdapat
ritual yang harus dilakukan oleh pengikutnya (Nugroho, 2008:13). Secara agama
atau kepercayaan dan etika moral, ajaran Confucius mendorong
pengikutnya untuk mencapai kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan
hidup secara harmonis melalui persembahan kepada Tian 天 (Tuhan YME). Sebagai agama,
Confucius mengajarkan suatu kepercayaan dan keyakinan pada pengikutnya bahwa
seorang yang bijak itu pasti mendapat berkah: rejeki dan kesuksesan seperti
yang dikatakan Confucius “Maka seorang yang berkebajikan besar niscaya mendapat
berkah, kedudukan, nama dan panjang umur“ (Kitab Zhong Yong 中庸 XVI:2). Kepada yang berbuat baik akan diturunkan
beratus berkah, kepada yang berbuat tidak baik akan diturunkan beratus
kesengsaraan (Kitab Shu Jing 书经 IV.IV.8). Keyakinan akan perbuatan kebajikan tersebut
yang pada akhirnya membawa berkat, rejeki, kesuksesan dan panjang umur yang
menyebabkan orang Tionghoa bekerja keras berdasarkan pada nilai-nilai
kebajikan. Bagi orang Tionghoa hanya berbisnis berdasarkan kebajikan, maka
Tuhan akan meridhoinya. Hal ini sesuai dengan ajaran Confucius yang
mengatakan “Wi Tik Thong Thian / Wei De Dong Tian“惟 德 动 天(Hanya dengan Kebajikan saja Tuhan akan berkenan).
Ajaran Confucius dalam konteks
rasional tersebut sebenarnya menjelaskan tentang hubungan antara etika dengan
kesuksesan (kebajikan dan berkah) seperti tesis Max Weber yang sebenarnya
membahas antara hubungan motif dengan tindakan (Abdullah, 1988:17).
Ajaran tersebut menjadikan orang Tionghoa tidak berani tidak berbuat Kebajikan
karena diyakini akan menjadikan kemakmuran dan kesuksesan dalam hidupnya.
Sebaliknya mereka akan takut berbuat yang menentang etika moral (tidak bajik)
dikarenakan takut akan kesengsaraan. Untuk itulah orang-orang Tionghoa berusaha
bekerja keras sesuai dengan jalan Tuhan (kebajikan) untuk mencapai kesuksesan
yang benar. Dalam hal ini mereka menerapkan konsep Yi 义 menuju Li’ 利 (konsep kebenaran dalam mencapai keuntungan).
Dari ajaran Confucius itu kemudian
berkembang dan istilah-istilah seperti rejeki, keberuntungan (hokkie 福 气), dan kemakmuran menjadi tujuan hidup utama orang-orang
Tionghoa. Semua praktek tradisi ditujukan untuk mengejar hokkie. Dalam hal ini terletak pentingnya ciamsi (konsultasi nasif), gwamia (ramalan), shio (horoskop),
dan hongsui/ fengsui 风水 (tata letak bangunan) yang berhubungan dengan hawa (chi 气). Banyak pula istilah-istilah seperti cengli 正理 (masuk akal), Cinjay (tidak
terlalu hitungan) dan Cuan (keuntungan).
Istilah tersebut menjadi umum dan selalu dibicarakan ketika berhubungan bisnis
dengan orang Tionghoa. Secara umum pergaulan orang Tionghoa dalam
bisnis selalu harus Cingcay dan Cengli 正理 dan jangan sampai Ciak (tidak membayar hutang) akhirnya Cao (berlari). Istilah-istilah tersebut kalau
dikaji tidak jauh dari ajaran Confucius.
Pokok ajaran Confucius adalah
manusia dilahirkan didunia ini memiliki kebajikan-kebajikan yang diberikan
Tuhan berupa Ren 仁(Cinta Kasih), Zhi智 (Keijaksanaan) dan Yong勇 (Keberanian) yang disebut dengan Tri Pusaka. (Kitab
Tiong Yong 中庸BAB
XIX:8).
Menurut Xs.Tjhie Tjay Ing (2006:4) Ren仁(cinta kasih) sebagai landasan dan sandaran bagi motif perbuatan dalam segala aspek kehidupan yang wajib dilakukan semua umat manusia. Apabila hal tersebut diterapkan dalam dunia bisnis harus dilandasi nilai-nilai cinta kasih. Apabila bisnis yang tidak dilandasi nilai Ren akan mengalami suatu kemunduran.
Menurut Xs.Tjhie Tjay Ing (2006:4) Ren仁(cinta kasih) sebagai landasan dan sandaran bagi motif perbuatan dalam segala aspek kehidupan yang wajib dilakukan semua umat manusia. Apabila hal tersebut diterapkan dalam dunia bisnis harus dilandasi nilai-nilai cinta kasih. Apabila bisnis yang tidak dilandasi nilai Ren akan mengalami suatu kemunduran.
Dengan Zhi (arti: pengetahuan; Mandarin: 智) manusia mampu menangani dan memecahkan segala persoalan
secara tepat dan harmonis. Bila dikaitkan dengan dunia bisnis, maka akan
menjadikan seorang wirausaha bijak dan tepat sasaran dalam mengambil segala
keputusan manajemen. Dengan Yong (arti:
keberanian; Mandarin: 勇),
manusia mendapat semangat dan ketahanan dalam menghadapi tantangan atau meraih
cita-cita. Semangat tanpa putus asa dengan keberaniannya akan mendorong
jiwa-jiwa berwirausaha. Selanjutnya oleh Meng-zi (Bingcu), pengikut Confucius,
Kebajikan itu dikembangkan dan bertambah satu kebajikan Li (arti: aturan-aturan kesusilaan dan tata krama;
Mandarin: 禮,礼) (Kitab Bingcu VIIA,22:4). Dengan Li (aturan-aturan
susila dan tata krama), akan menjadikan seorang Wirausahawan bersopan santun,
bertata krama dalam menerapkan bisnisnya.
Selanjutnya dikembangkan oleh Tung Zhong Shu (179-104) dengan menambahkan Xin (arti: kepercayaan; Mandarin: 信). Dengan Xin (Kepercayaan) akan mempercepat proses transaksi dan pengiriman barang dan sekaligus menghemat biaya dan pada akhirnya berpengaruh pada kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang.
Selanjutnya dikembangkan oleh Tung Zhong Shu (179-104) dengan menambahkan Xin (arti: kepercayaan; Mandarin: 信). Dengan Xin (Kepercayaan) akan mempercepat proses transaksi dan pengiriman barang dan sekaligus menghemat biaya dan pada akhirnya berpengaruh pada kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang.
Pada prakteknya, nilai-nilai
Confucius ini berkembang dari waktu ke waktu. Abad XXI kebajikan jumlahnya
menjadi enam yakni Ren (cinta
kasih, 仁), Yi (nilai-nilai kebenaran, 義/义), Li (aturan-aturan susila dan tata
krama, 禮/礼), Zhi (pengetahuan,
智), Xin (kepercayaan,
信). Bahkan di Jepang ajaran Confucius
berkembang menjadi etika kerja Bushido sebagai kunci sukses bangsa Jepang,
terdiri dari tujuh prinsip, yaitu: Yi (義/义, nilai-nilai kebenaran), Li (aturan-aturan susila dan tata
krama, 禮/礼),Yong (keberanian, 勇), Ren (cinta
kasih, 仁), Xin(kepercayaan, 信), Yu (reputasi, 誉), dan Zhong (kesetiaan,
忠) (Maria, 2010:16).
Kebajikan-kebajikan tersebut
merupakan inti ajaran Confucius yang dibahas secara filosofi dan dibicarakan
dengan murid-muridnya. Dengan Kebajikan-kebajikan tersebut manusia wajib
mengembangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan dalam dunia
bisnis. Kebajikan itu bisa dilakukan manusia karena memang manusiawi melalui
belajar dan dilatih. Hanya dengan belajarlah manusia bisa menjadi Junzi 君子 (manusia ideal pandangan Confucius) yang tentu saja
memiliki kemampuan manajerial dan sikap moral yang memadai.
Chun Tzu (Mandarin: 君子; pinyin: Junzi君子) adalah orang yang agung dan dalam bahasa Inggris disebut (gentlemen), seorang dapat menjadi pimpinan bukan karena
keturunan tetapi karena keagungan watak dan tingkah laku yang baik. Menurut
Confucius, setiap manusia berpotensi menjadi Junzi (Chun Tzu). Beberapa pengertian Junzi (Mandarin: 君子) menurut Confucius : Chun Tzu (Junzi) adalah seorang pemberani yang dapat
menyelaraskan berbagai macam hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan senantiasa
berusaha meningkatkan kualitas moral kepribadiannya (Dawson,
1981:54).
Adapun sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang Junzi adalah : (1) setia dan selalu berbuat baik serta berusaha untuk mawas diri, (2) mencintai sesuatu yang benar dan tidak mementingkan dirinya sendiri, (3). mengutamakan masalah moral (Dawson, 1981:55).
Seorang Junzi selalu berusaha hidup dan bekerjasama dengan masyarakat di mana pun ia berada, agar ia mempunyai jiwa sosial yang tinggi mau beramal apa saja demi kepentingan masyarakat bangsa dan negaranya. Confucius dalam membahas masalah Junzi lebih banyak bicara tentang masalah moral, karena moral merupakan dasar dari keberhasilan pembangunan suatu bangsa, tanpa landasan pada moral suatu bangsa akan segera mengalami keruntuhan.
Etika Confucius adalah nilai-nilai, aturan, moral yang bersumber pada ajaran Confucius sendiri yang mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat khususnya masyarakat Tionghoa. Umumnya Etika Confucius diajarkan secara lisan secara turun temurun dari orang tuanya dan ini berjalan berabad-abad lamanya sehingga terbentuk masyarakat Confucius tradisional. Karakteristik masyarakat Confucius tradisional biasanya menjalankan tradisi tanpa adanya tata laksana agama yang benar. Namun ada kalanya Etika Confucius didapat dari kitab-kitab Confucius yang dibawa oleh para pendatang (saudagar) ke Indonesia dan sebagian kaum cendekia dan mengembangkan di Indonesia. Mereka akhirnya membentuk wadah Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) dan mengangkat penebar, guru dan pendeta (Js=Jiaosheng 教生 sebagai penyebar agama, Ws=Wenshi 文 师 sebagai guru agama dan Xs=Xueshi 学师sebagai pendeta) dan mengajarkannya lewat upacara-upacara maupun kebaktian di Li Thang (Litang 礼堂Tempat Ibadah umat Confucius).
Adapun sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang Junzi adalah : (1) setia dan selalu berbuat baik serta berusaha untuk mawas diri, (2) mencintai sesuatu yang benar dan tidak mementingkan dirinya sendiri, (3). mengutamakan masalah moral (Dawson, 1981:55).
Seorang Junzi selalu berusaha hidup dan bekerjasama dengan masyarakat di mana pun ia berada, agar ia mempunyai jiwa sosial yang tinggi mau beramal apa saja demi kepentingan masyarakat bangsa dan negaranya. Confucius dalam membahas masalah Junzi lebih banyak bicara tentang masalah moral, karena moral merupakan dasar dari keberhasilan pembangunan suatu bangsa, tanpa landasan pada moral suatu bangsa akan segera mengalami keruntuhan.
Etika Confucius adalah nilai-nilai, aturan, moral yang bersumber pada ajaran Confucius sendiri yang mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat khususnya masyarakat Tionghoa. Umumnya Etika Confucius diajarkan secara lisan secara turun temurun dari orang tuanya dan ini berjalan berabad-abad lamanya sehingga terbentuk masyarakat Confucius tradisional. Karakteristik masyarakat Confucius tradisional biasanya menjalankan tradisi tanpa adanya tata laksana agama yang benar. Namun ada kalanya Etika Confucius didapat dari kitab-kitab Confucius yang dibawa oleh para pendatang (saudagar) ke Indonesia dan sebagian kaum cendekia dan mengembangkan di Indonesia. Mereka akhirnya membentuk wadah Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) dan mengangkat penebar, guru dan pendeta (Js=Jiaosheng 教生 sebagai penyebar agama, Ws=Wenshi 文 师 sebagai guru agama dan Xs=Xueshi 学师sebagai pendeta) dan mengajarkannya lewat upacara-upacara maupun kebaktian di Li Thang (Litang 礼堂Tempat Ibadah umat Confucius).
Sementara Etos Confucius
bersumber pada Kitab Suci Agama Konghucu (Confucius) yang terdiri dari dua
kelompok, yaitu: Wu Jing 五 经(Kitab
Suci Yang Lima) dan Si Shu四书 (Kitab Suci Yang Keempat) serta Xiao Jing 孝经 (Kitab Bakti). Kitab Wu Jing terdiri dari :
1.
Shi Jing (诗经 Kitab
Sanjak)
2.
Shu Jing (书经 Kitab Dokumen Sejarah Suci)
3.
Yi Jing (易经 Kitab Kejadian dengan Segala Perubahan dan Peristiwa)
4.
Chun qiu Jing (春秋经 Kitab Sejarah Jaman Chun Qiu)
5.
Yue Jing (乐经 Kitab
Musik)
Kitab Si Shu 四书 terdiri dari :
1.
Da Xue (大学 Kitab Ajaran Besar)
2.
Zhong Yong (中庸 Kitab Tengah Sempurna)
3.
Lun Yu/ Lun Gie (论语 Kitab
Sabda Suci)
4.
Meng Zi (孟子 Mencius) (Lin Khung Sen,2010:31)
Kitab-kitab tersebut sebagai sumber
ajaran Confucius dan digunakan sebagai dasar dalam bertingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi yang dimaksud dengan Etika
Confucius itu menyangkut keseluruhan ajaran Confucius yang
dihimpun dari Nabi Fuxi 伏羲 dan Hok Hi (2.953-2.838 SM), lalu Yu
Agung大 禹 atau I Agung (2.205 – 1.766 SM), Wenwang (文 王) dan akhirnya Confucius (Khonghucu) sampai dengan
Rosul Bingcu (Meng Zi).
Chong (1996:9) mengatakan etika Confucius yang dikenal sekarang tidak hanya ditemukan oleh satu orang saja tetapi merupakan hasil perkembangan lebih 2.500 tahun yang lalu sampai sekarang.
Chong (1996:9) mengatakan etika Confucius yang dikenal sekarang tidak hanya ditemukan oleh satu orang saja tetapi merupakan hasil perkembangan lebih 2.500 tahun yang lalu sampai sekarang.
Etos Confucius atau etika Confucius
(Confucian Ethic) menurut Lin Yu Tang (1936) dalam Chong
(1996: 9) dalam bukunya “My Country and My People“
adalah upaya manusia memperoleh kebajikan di dalam (inner
Sageliness) dan berpenampilan sebagai Raja (outer kingliness). Artinya nilai-nilai Confucius
dipelajari ke dalam (Inner Sageliness) sebagai moral
kebajikan sedangkan keluar merupakan wujud perilaku nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Indarto bahwa
Etika Confucius disebut juga dengan “Nei-sheng Wai-wang“ 内圣 外王 yang mencakup pendidikan moral atau budi pekerti untuk
membina diri ke dalam seperti Nabi dan keluar memimpin dunia menjadi manajer
yang tangguh (Indarto, 2010:32).
Etika Confucius mengandung nilai-nilai seperti toleransi pada sesama manusia, baik antar kawan, atasan bawahan, antar sesama saudara; berlaku bakti kepada orang tua serta saudara yang lebih tua; kesetiaan dan dapat dipercaya kepada negara bangsa, hormat kepada lebih tua dan kasih sayang kepada anak dan saudara yang lebih muda.
Etika Confucius mengandung nilai-nilai seperti toleransi pada sesama manusia, baik antar kawan, atasan bawahan, antar sesama saudara; berlaku bakti kepada orang tua serta saudara yang lebih tua; kesetiaan dan dapat dipercaya kepada negara bangsa, hormat kepada lebih tua dan kasih sayang kepada anak dan saudara yang lebih muda.
Pada prinsipnya etika Confucius
mengajarkan akan pentingnya pembinaan diri (self cultivation)
serta nilai-nilai moral, baik kepada diri pribadi, keluarga, masyarakat dan
negara bahkan dunia. Menurut Po (2009:464) Etika Confucius terdiri dari Ren 仁, Yi义, Li礼 disamping Zhi 智dan Xin 信 yang merupakan komponen penting dalam sistem moral
yang membentuk manusia Junzi. Junzi melambangkan berbudi luhur, siap dan mampu
melakukan tindakan bajik tanpa henti secara konsisten selama hidupnya, terutama
kaum intelektual dan elit penguasa. Bahkan semua orang didesak untuk
menjadi Junzi dalam pikiran dan perbuatan dan terus
mengejar kehidupan yang dicontohkan Junzi. Ciri
khas Junzi 君子 dalam analects Confucius (Lun Gi论语) adalah bertindak benar, tekun dalam tindakan, bertindak
sebelum bicara, kehati-hatian dalam ucapan, tindakan menyelaraskan kata-kata,
menunjukkan bakti kepada orang tua, menampilkan menghormati untuk
saudara-saudara, bergaul dengan orang yang memegang prinsip moral, suka
belajar, mencintai orang lain, bersopan santun dan tahu aturan, berbuat baik
kepada orang lain, akomodatif, berwibawa tapi tidak sombong, berani, tabah,
memiliki motivasi, berpikiran adil dan ZhongShu 忠恕 (Tiong Si). Zhong Shu ini disebut Golden Rule dimana “Jangan lakukan pada orang lain
apa yang Anda tidak ingin orang lain lakukan untuk Anda.“
Lee T.Oei dalam Ongky (1996)
memberikan ciri-ciri seorang Junzi diantaranya
orang yang bertujuan, berusaha sungguh-sungguh, menyeluruh, tulus hati, jujur,
murni dalam pikiran dan tindakan, cinta akan kebenaran, adil dan tidak miskin,
berkebajikan, bijaksana, longgar hati, tabah hati, berwibawa, teguh, rukun,
tidak menjilat, berkembang keatas, berkemampuan, bersifat terbuka, baik hati,
berpandangan luas, bercinta kasih, tenggang diri, tepo saliro, dan bertenaga
dalam.
Sumber dari : disertasi Js. Drs. Ongky Setio Kuncono, MM,
MBA, Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan
Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar